JAKARTA, infokalbar.com – Pasca dikeluarnya keputusan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap pengusutan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)–yang diumumkan oleh Wakil Ketua KPK Alexander Marwata April 2021 lalu–kini kasus yang terjadi pada 20 tahun silam itu diambil alih oleh Pemerintah dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Hak Tagih Negara dan Penanganan Hak Tagih Negara dan BLBI, pada Jumat (04/06/2021).
Keputusan “pengambilalihan” tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI yang diteken pada 6 April 2021 lalu.
Dikutip dari CNNIndoneaia.com, pada Senin (07/06/2021), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) RI, Mahfud MD yang juga sebagai Ketua Dewan Pengarah Satgas BLBI memastikan bahwa Satgas BLBI akan menagih semua piutang negara kepada para obligor (pemilik bank) dan debitur (peminjam uang ke bank).
Adapun total tagihan dana BLBI kepada obligor dan debitur tersebut mencapai Rp110,45 triliun. Menurut Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati, total utang tersebut bersumber dari 22 obligor dan 112 ribu berkas debitur.
Sri Mulyani menyampaikan, pemerintah pun menargetkan akan menyelesaikan penagihan semua utang BLBI yang merupakan aset negara itu bisa diselesaikan dalam tiga tahun.
“Jadi, tiga tahun ini harapannya sebagian besar atau keseluruhan bisa kami ambil kembali hak negara tersebut,” ujarnya di Kementerian Keuangan, Jumat (04/06/2021).
Ia menuturkan penagihan utang BLBI tersebut akan dilakukan oleh Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Hak Tagih Negara dan BLBI yang telah diresmikan tersebut. Selain itu, Satgas BLBI juga akan bekerja sama dengan kementerian dan lembaga terkait lainnya yang memiliki instrumen untuk penagihan utang maupun kapasitas pelacakan aset (asset tracing) seperti Polri, Badan Intelijen Negara (BIN), Kejaksaan Agung, Kementerian ATR, dan sebagainya.
“Oleh karena waktunya sudah sangat panjang yaitu sudah lebih dari 20 tahun, tentu kami tidak lagi pertanyakan niat baik atau tidak, tinggal mau membayar atau tidak. Oleh karena itu, tim Satgas ini kami harap akan menggunakan seluruh instrumen yang ada di negara ini,” ujarnya.
Seperti diketahui, kasus BLBI bermula pada dana talangan (bailout) yang diberikan pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) sebagai upaya penyelamatan terhadap bank-bank saat krisis tahun 1997-1998 lalu, dimana banyak obligor maupun debitur yang mengalami kesulitan finansial akibat krisis.
“Hak tagih negara ini terdiri dari mereka yang statusnya adalah obligor yaitu para pemilik dari bank-bank yang dibantu oleh negara melalui BLBI dan debitur yaitu mereka yang pinjam dari bank-bank yang dibantu oleh negara, sehingga memang statusnya ada yang dalam bentuk obligor ada yang dalam bentuk debitur. Mereka yang pinjam kemudian tidak kembalikan yang menyebabkan bank itu kolaps,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Dirjen Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Rionald Silaban yang juga menjabat sebagai Ketua Satgas BLBI menuturkan utang senilai Rp110,45 triliun tersebut, berasal dari obligor senilai Rp40 triliun.
Rinciannya, Rp30 triliun merupakan piutang negara kepada obligor bekas penanganan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan Rp10 triliun berasal dari Bank Dalam Likuidasi (BDL). “Sisanya itu adalah debitur,” katanya.
Dengan demikian, mayoritas utang BLBI berasal dari debitur yakni Rp70,45 triliun. Selanjutnya, kata dia, debitur yang memiliki utang lebih dari Rp 25 miliar maka tagihannya akan dilakukan oleh Satgas BLBI, sedangkan di bawah Rp 25 miliar penagihannya dilakukan oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN).
“Yang jelas debitur yang akan dibawa ke Satgas yang tagihannya di atas Rp 25 miliar, di bawah itu ke PUPN,” jelasnya.
Perjalanan 20 Tahun
Berdasarkan ulasan CNNIndonesia.com yang mengutip dari berbagai sumber, bahwa kasus BLBI merupakan kasus lama yang merupakan warisan dari krisis moneter 1998. Pada periode tersebut, sejumlah bank mengalami masalah likuiditas akibat krisis moneter yang membuat nilai tukar rupiah depresiasi sangat dalam mencapai Rp 15 ribu per dolar AS. Dampak kejatuhan rupiah itu, utang valuta asing (valas) perbankan membengkak.
Mengantisipasi dampaknya pada perekonomian, maka pemerintah dan Bank Indonesia (BI) sepakat untuk berbagi beban (burden sharing). Lewat program BLBI, bank sentral menggelontorkan dana sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank yang hampir kolaps akibat krisis ekonomi 1998. Dengan catatan, dana yang dipinjamkan harus dikembalikan kepada negara.
“Ini adalah hak tagih negara yang berasal dari krisis perbankan tahun 1997-1998. Jadi, memang saat itu negara melakukan bailout melalui BLBI, yang sampai hari ini pemerintah masih harus bayar biayanya tersebut, yaitu bank sentral gelontorkan dana ke perbankan yang mengalami kesulitan waktu itu,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Sayangnya, 20 tahun berlalu belum semua obligor dan debitur mengembalikan dana BLBI tersebut. Dalam keterangan resmi Kementerian Keuangan, BLBI merugikan negara Rp 138,442 triliun dari Rp 144,536 triliun BLBI yang disalurkan berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2000.
“Bantuan kredit itu diberikan kepada kepada 48 bank, bantuan kredit yang awalnya bersifat likuiditas menjadi solvabilitas karena pada ujungnya pemerintah yang menanggung kerugian dengan mengambil tanggung jawab para kreditur ke BI,” bunyi keterangan resmi Kementerian Keuangan.
Selain itu, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga menemukan penyimpangan senilai Rp 54,561 triliun yang dilakukan oleh 28 bank penerima BLBI.
“Berdasarkan beberapa laporan hasil audit negara di atas, sangat jelas besarnya kerugian negara, apalagi KPK belum tuntas menyelesaikan penyelidikan mengenai kerugian negara dalam kasus BLBI terkait pengucuran dana ke berbagai bank (salah satunya Bank Dagang Nasional Indonesia) sehingga ke depan kemungkinan dapat diidentifikasi bertambahnya jumlah kerugian negara,” katanya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan menyelidiki kasus BLBI. Faktanya, kasus menahun yang telah melewati tiga periode masa kepresidenan sejak Megawati tersebut merambah ranah pidana.
Vonis perdana bagi para terdakwa skandal BLBI ini terjadi pada 2003 silam yang dijatuhkan pada para para oknum pejabat BI yang bersekongkol dengan para pemilik bank. Kala itu, sederet nama pejabat BI seperti Hendro Budiyanto, Heru Supratomo, hingga Paul Sutopo Tjokronegro dijebloskan ke penjara. Selain itu, sejumlah taipan dan pejabat bank pun mendapatkan vonis dari pengadilan dalam kasus itu.
Namun, pada April 2021 lalu, komisi anti rasuah memutuskan untuk menghentikan pengusutan kasus tindak pidana bantuan BLBI melalui SP3. Kendati demikian, penyelidikan kasus BLBI terus bergulir kepada Satgas BLBI. Dimana Pemerintah RI melalui Satgas BLBI, akan mengejar utang BLBI sampai ke luar negeri. Satgas BLBI pun dikabarkan telah mengantongi semua nama obligor dan debitur BLBI.
“Tidak ada yang bisa bersembunyi karena di sini daftarnya ada dan Anda semua punya daftar para obligor dan debitur. Jadi, kami tahu, Anda pun tahu, sehingga tidak usah saling buka mari kooperatif saja,” kata Mahfud MD. (FikA)