Editor: Wilson Lalengke
JAKARTA, infokalbar.com – Pakistan, yang merupakan tetangga Afghanistan, diketahui selama ini memberikan tempat perlindungan bagi kelompok teroris, termasuk jaringan Haqqani dari kelompok Taliban. Oleh sebab itu, Amerika Serikat akan mengkaji ulang hubungannya dengan Pakistan. Hal tersebut ditegaskan Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, dalam dengar pendapat dengan Kongres AS pekan lalu.
Menlu Blinken, seperti dikutip kantor berita Reuters, mengatakan bahwa Pakistan selama ini berani ambil resiko demi menjaga kepentingannya akan masa depan Afghanistan. Pakistan, katanya, melindungi anggota Taliban padahal negara itu juga terikat berbagai poin kerjasama dengan AS dalam kontra-terorisme.
Ia menambahkan bahwa Pakistan memiliki banyak kepentingan, yang dalam beberapa hal bertentangan dengan AS.
“Kita akan coba mengkaji dalam beberapa hari atau beberapa minggu kedepan, peran yang telah dimainkan Pakistan selama 20 tahun terakhir, dan juga peran yang akan dimainkan Pakistan, yang sesuai dengan keinginan kita, di tahun-tahun mendatang,” kata Blinken kepada media, baru-baru ini.
AS meyakini bahwa Pakistan memberikan dukungan, baik secara terbuka maupun terselubung, kepada Taliban sejak awal berdirinya tahun 1994. Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, para pimpinan Taliban dan al-Qaeda tinggal dengan aman di Pakistan.
Sebagaimana diketahui umum, pemimpin tertinggi Al-Qaeda, Osama bin Laden, tinggal di Pakistan tanpa terusik selama 10 tahun. Osama dan keluarga tinggal di sebuah rumah besar dekat akademi militer Pakistan. Angkatan Laut AS akhirnya secara tersembunyi melancarkan operasi terhadap rumah tinggalnya di Abbottabad pada 2 Mei 2011 dan berhasil melumpuhkannya.
Awal bulan ini, mantan wakil presiden Afghanistan, Amrullah Saleh, menegaskan bahwa sepak terjang Taliban dikendalikan oleh badan intelijen Pakistan, Inter-Services Intelligence (ISI). Amrullah juga menambahkan layaknya sebuah kekuatan kolonial, Islamabad mendikte negara tetangga yang terkoyak perang tersebut.
Jaringan teror Haqqani dipimpin oleh Sirajuddin Haqqani, Menteri Dalam Negeri Afghanistan saat ini. Kelompok yang memiliki hubungan dekat dengan ISI dan al-Qaeda ini dianggap pembunuh kejam, baik terhadap warga sipil Afghanistan maupun orang asing.
Sinyalemen yang berkembang tampak jelas menunjukkan bahwa Pakistan menyambut baik kekuatan kelompok teror kembali berkuasa di Afghanistan.
“Afghanistan telah mematahkan belenggu perbudakan,” ungkap Perdana Menteri Pakistan, Imran Khan, saat Taliban merebut kekuasaan di Afghanistan pada 15 Agustus 2021 lalu.
Imran dan penasihat keamanan nasional mendesak masyarakat internasional untuk mengakui rezim teroris. Walau banyak catatan tentang hubungan Pakistan dengan terorisme dan radikalisme selama ini, namun sampai saat ini belum ada negara yang menanggapinya.
Sebagian besar warga Afghanistan sendiri tidak percaya pada Taliban dan Pakistan. Ratusan warga Afghanistan melakukan demonstrasi di depan Kedutaan Besar Pakistan di Kabul menuntut pemerintahan Pakistan untuk tidak campur tangan di Afghanistan.
Perdana Menteri Imran meminta semua negara untuk menjalin hubungan dengan Taliban dan memberi insentif kepada mereka atas inisiatif penguasa baru Afghanistan berkenaan dengan sejumlah isu seperti hak perempuan dan pemerintahan inklusif, terlepas dari kekejaman mereka terhadap rakyat Afghanistan dan perlakuan buruk terhadap perempuan selama ini.
“Jadi daripada duduk-duduk di sini dan memikirkan bagaimana caranya agar bisa meredam mereka, sebaiknya kita memberi mereka bantuan, karena pemerintahan Afghanistan saat ini jelas menyadari bahwa tanpa bantuan dan dukungan internasional, mereka tidak akan dapat mengatasi krisis di negaranya. Jadi kita harus mendorong mereka ke arah yang lebih baik,” kata Imran kepada CNN dalam wawancara khusus pada 16 September 2021.
Penasihat Keamanan Nasional Pakistan, Moeed Yusuf, mengatakan bahwa Pakistan ingin AS meningkatkan keterlibatan diplomatik dan ekonominya dalam pemerintahan Taliban di Afghanistan.
“Amerika Serikat tidak selayaknya mengisolasi Afghanistan sebagai bentuk hukuman terhadap penguasa baru,” kata Moeed kepada Washington Post baru-baru ini.
Menlu Blinken mengatakan dengan tegas bahwa AS tidak akan mengakui pemerintahan Taliban sampai komitmen yang diberikan berkenaan dengan terorisme, pemerintah inklusif dan hak-hak perempuan diimplementasikan sepenuhnya. Pada saat yang sama, pengamat ahli keamanan AS menghimbau saatnya AS mengambil tindakan yang lebih keras terhadap Pakistan.
John Robert Bolton, mantan Penasihat Keamanan Nasional AS, seperti dilaporkan dalam artikel di Washington Post, mengatakan bahwa konsekuensi keluarnya Amerika dari Afghanistan sangat besar dan luas sehingga perlu mendapatkan perhatian. Di antara tantangan utama adalah dikhawatirkannya sepak terjang dominan Pakistan di masa depan.
“Selama beberapa dekade, Islamabad dengan gegabah mengejar kekuatan senjata nuklir dan membantu terorisme, sebuah ancaman yang selama ini diremehkan atau tidak dihiraukan oleh pembuat kebijakan AS. Dengan jatuhnya Kabul, pengabaian atau berbagai macam dalih tidak berlaku lagi. Pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban serta-merta menimbulkan kekhawatiran akan resiko bahwa kelompok ekstremis Pakistan akan meningkatkan lagi pengaruhnya di pemerintahan Islamabad, dan pada suatu saat bisa menjadi kendali penuh,” kata Bolton.
Pakistan maupun dunia, menurutnya, saat ini menghadapi risiko yang lebih besar. Kemenangan Taliban dapat menginspirasi kelompok teroris lain untuk merebut kekuasaan melalui kekerasan. Sebuah kekuatan teror atau kelompok radikal dapat mengambil alih Pakistan, yang memiliki bom nuklir, di masa depan dan kekhawatiran akan muncul seandainya bom nuklir berada dalam kendali kelompok teroris.
“Senjata semacam itu di tangan ekstremis Pakistan akan membahayakan India, meningkatkan ketegangan di kawasan itu ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Jatuhnya senjata nuklir Pakistan ke tangan teroris, yang kapan saja bisa memantik hulu ledak dimanapun tempat di dunia, akan membuat tragedi 9/11 yang baru, yang jauh lebih mematikan,” tambah Bolton.
Ia selanjutnya mengingatkan AS untuk waspada dan mengingatkan warga di seputaran wilayah Asia Selatan terhadap bahaya yang dapat saja terjadi kapan saja.
“Kita harus mengingatkan para tokoh warga setempat bahwa Pakistan akan membayar harga yang sangat mahal jika mereka tidak menghentikan bantuan kepada Taliban,” kata Bolton dalam wawancara podcast dengan Washington Post.
Kolumnis di berbagai media AS ini percaya bahwa Pakistan memainkan peran ganda di Afghanistan. Ketika koalisi pimpinan AS menggulingkan Taliban pada tahun 2001, ISI menyediakan tempat perlindungan, dukungan dana, senjata dan suplai perbekalan di wilayah Pakistan, meskipun Islamabad bersikeras menyangkalnya.
Pada sisi lain, untuk memperoleh bantuan dana dari AS, Pakistan bergabung dengan Washington dalam perang melawan terorisme. Seorang mantan pejabat Pakistan mengakui bahwa Islamabad menyalurkan sebagian bantuan dari AS kepada Taliban selama dua dekade terakhir.
“Jatuhnya Kabul membuat Amerika tidak lagi bergantung pada kebaikan Pakistan, yang selama ini memberikan dukungan logistik. Menyadari ketidaktegasan (Pakistan) dan mengingat kemampuan nuklir yang dimiliki Pakistan, Amerika Serikat saatnya mengambil sikap tegas terhadap Islamabad jika negara tersebut terus mendukung Taliban dan kelompok teroris lainnya,” tulis Bolton di Washington Post.
Di bawah Taliban, masa depan Afghanistan sangat suram. Terorisme akan meningkat dan dunia dalam bahaya. (Berbagai sumber)