Berita  

Minimalisir Bencana Banjir melalui Manajemen DAS berwawasan Lingkungan Oleh : Arie Marwandi, Pemerhati SDA Kalbar

Pontianak ,infokalbar.com

Sedari dahulu Banjir di Kalimantan Barat umum terjadi di beberapa tempat. Seiring dengan perkembangan zaman, deforestation terjadi yang mengakibatkan fungsi sungai beralih dari sungai alami menjadi sungai tadah hujan. Hal ini diperparah dengan terjadinya global warming yang mengakibatkan naiknya permukaan air laut serta perubahan iklim yang ekstrim akibat pengaruh elnina dan lanino.
Selanjutnya Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalbar rnenetapkan status tanggap darurat untuk delapan kabupaten/Kota yang dinilai rentan terdarnpak banjir, antara lain Kabupaten Kapuas Hulu. Ketapang. Kubu Raya. Melawi, Sanggau. Sekadau. Singkawang dan Sintang. Dari delapan kabupaten/Kota tersebut, terdapat ernpat kabupaten/kota yang paling terdarnpak banjir. yakni Sintang. Ketapang. Kapuas Hulu dan Malawi. Keernpat wilayah itu pun ditetapkan status tanggap darurat banjir sejak 10 0ktober 2022.
Secara umum, mayoritas debit banjir yang terjadi pada titik rawan bencana banjir di atas merupakan debit banjir kiriman yang berasal dari daerah hulu DAS. Sebagai contoh, debit banjir yang terjadi di daerah Kota Putussibau berasal dari Batang Sibau, Nanga Seloewa, Ekok Tambai dan Nanga Era. Selanjutnya debit banjir yang terjadi di daerah Kota Sintang sebagian besar berasal dari anak sungai Kapuas yang berhulu di Kabupaten Melawi. Hal ini berlanjut serupa pada titik rawan banjir lainnya.
Pada sebagian kalangan masyarakat, beredar ide untuk membuat kanal/terusan yang berfungsi mengalirkan debit banjir secepatnya dari daerah pemukiman ke tempat lain yang memiliki elevasi relative lebih rendah. Apabila debit banjir tersebut berada di pesisir, maka daerah tujuan kanal/terusan tersebut adalah laut/selat terdekat. Hal ini dinilai memiliki potensi bahaya/bencana yang lebih besar, sebagaimana berikut :

  1. Sejatinya, sumber aliran sungai alami berasal dari debit run off di permukaan yang diserap oleh tanah (infiltrasi) menjadi air tanah yang kembali ke sungai menjadi debit andalan. Tetapi pada sungai tadah hujan, dari debit run off di permukaan tersebut hanya dalam persentase kecil saja yang dapat diserap oleh tanah, sehingga debit tersebut mengalir kembali ke sungai menjadi debit spontan. Dalam pengaliran debit air di sungai, terdapat pula proses infiltrasi ke lapisan equiver yang lebih dalam, dan proses ini membutuhkan waktu tertentu dalam prosesnya. Apabila dibuat kanal/saluran untuk mengalirkan debit banjir secepatnya ke tempat lain yang memiliki elevasi relative lebih rendah, maka waktu/proses infiltrasi aliran air di daratan akan terpangkas secara drastis.
  2. Menuai problematika hukum karena bertentangan dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pengalihan Alur Sungai, terutama pada pasal 4.
  3. Dampak lebih lanjut dari point 1 di atas akan memicu bencana lebih lanjut. Bencana ini umumnya dimulai dari menipisnya cadangan air tanah, sehingga saat musim kemarau air baku semakin langka, sungai-sungai semakin mengering, serta mempertinggi resiko kebakaran lahan/hutan. Berbanding terbalik pada musim penghujan, debit air banjir semakin lama mendekati debit real run off curah hujan, bantaran sungai umumnya serta simpangan aliran air pada kanal/saluran akan rentan mengalami longsor akibat derasnya arus sungai. Pada daerah pesisir hal ini akan berdampak menjadi penurunan elevasi dataran secara drastis, yang apabila diselaraskan dengan efek global warming, maka dataran pesisir tersebut lebih cepat akan berada dibawah permukaan laut, sehingga rentan akan bencana intrusi air laut, banjir Rob dan lain sebagainya.
    Semenjak bencana banjir mulai kerap melanda Kalimantan barat, pada tahun 2005 telah disepakati bahwa penanganan bencana banjir pada DAS Kapuas perlu ditangani dalam satu management dan dilaksanakan secara terpadu. Penanganan DAS Kapuas tersebut seyogyanya dimulai dari hulu sungai untuk selanjutnya secara bertahap dan berangsur-angsur beralih kea rah hilir sungai, dengan membuat Waduk, Retarding Basin maupun daerah serapan debit air efektif lainya sebagai sarana penahan run off air hujan agar selama mungkin berada di dataran sehingga debit run off permukaan tersebut memiliki waktu yang cukup untuk mengalami proses infiltrasi secara terus-menerus. Hal ini dibarengi pula dengan pembangunan daerah serapan agar lebih efektif menahan air, dengan upaya reboisasi, pelarangan penebangan pohon secara liar dan lain-lain. Dengan upaya ini diharapkan agar fungsi alami sungai dapat kembali, yang ditandai oleh kondisi surplus neraca air dan debit andalan yang bernilai positif.
    Sayangnya penerapan satu management serta keterpaduan DAS Kapuas hingga kini tidak dapat dilaksanakan secara menyeluruh dan sebagaimana mestinya. ( Dalys )