KETAPANG, Infokalbar.com – Sebuah tiang beton tak bertuan menjulang pilu di tepi sungai. Besi-besi berkarat berserakan bak bangkai raksasa.
Inilah pemandangan menyedihkan yang menyambut siapa pun yang mendatangi lokasi pembangunan Jembatan Periangan di Desa Periangan, Kecamatan Jelai Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.
Proyek yang diimpikan sebagai penopang denyut nadi ekonomi warga, kini berubah menjadi monumen kesia-siaan.
Di balik diamnya mesin dan sepinya pekerja, tersembunyi drama kelam dugaan persekongkolan, permainan anggaran, dan pengkhianatan terhadap amanat rakyat.
Mimpi yang Terkubur
Jembatan Periangan bukan sekadar proyek infrastruktur biasa. Ia adalah harapan bagi ratusan kepala keluarga untuk memperlancar distribusi hasil bumi, memangkas waktu tempuh, dan menggerakkan roda perekonomian desa.
Namun, mimpi indah itu kini tercabik-cabik. Padahal, pemenang tender proyek senilai fantastis, Rp14,6 miliar, telah ditetapkan sejak 29 Agustus 2025.
Kenyataannya, lokasi proyek lebih mirip kuburan daripada tempat pembangunan. Tidak ada aktivitas signifikan, tidak ada kemajuan, yang ada hanya kecemasan dan kegeraman warga yang terus menanti.
Siklus Anggaran Mandul
Kisah pilu Jembatan Periangan bukanlah cerita baru. Ini adalah episode lanjutan dari sebuah siklus pemborosan anggaran yang tak kunjung usai.
Pada tahun 2024, proyek yang sama telah dianggarkan sebesar Rp9,7 miliar dari APBD Kabupaten Ketapang.
Apa hasilnya? Hanya tumpukan abutmen, tiang pondasi, dan fender pengaman yang terbengkalai. Miliaran rupiah uang rakyat menguap, hanya meninggalkan coretan buruk di lanskap desa.
Tahun 2025, seolah tidak belajar dari kegagalan, proyek ini dihidupkan kembali dengan anggaran yang lebih besar, Rp14,6 miliar, bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan APBD.
Namun, masalah dimulai dari proses lelang yang molor. Kontrak baru bisa berjalan ketika sisa waktu pelaksanaan hanya tinggal 90 hari. Padahal, dokumen pelelangan sendiri mensyaratkan waktu pelaksanaan 120 hari.
Ketua Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) Ketapang, Alfian, menyuarakan keprihatinannya.
“Dengan waktu tinggal 90 hari, mustahil pekerjaan kompleks seperti pemasangan struktur baja selesai tepat waktu. Ini risiko besar,” ujarnya.
Pernyataan ini bukan hanya sekadar kekhawatiran, melainkan sebuah lampu merah yang mengindikasikan ketidakberesan dalam perencanaan dan eksekusi.
Benang Kusut Tender
Keterlambatan yang terjadi bukan tanpa alasan. Ia memantik kecurigaan kuat adanya permainan di balik layar.
Saat dikonfirmasi, Rahmat, Kepala Bidang Bina Marga Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Ketapang yang juga bertindak sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), memberikan jawaban yang normatif dan berputar-putar.
“Masih di Pokja dan tergantung Pokja,” katanya singkat. Jawaban ini justru menguatkan dugaan adanya praktik “jual beli proyek” dan permainan anggaran.
Suara Hati Warga
Di tengah hiruk-pikuk dugaan korupsi, suara paling menyentuh justru datang dari warga yang menjadi korban langsung.
Suri (52), warga Desa Periangan, tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. “Sudah ditetapkan pemenang, tapi tak ada aktivitas. Jangan-jangan sama seperti tahun lalu, habis duit tapi jembatan tak selesai,” keluhnya dengan nada geram.
Pengamat konstruksi setempat, Beni, menegaskan bahwa masyarakatlah yang menanggung beban terberat.
“Jembatan seharusnya menyambungkan akses ekonomi, bukan jadi kuburan anggaran,” katanya. Setiap hari proyek ini mangkrak, berarti setiap hari pula peluang ekonomi warga terhambat.
Dalang di Balik Layar
Investigasi ini mengungkap pola yang lebih sistemik. Sumber yang dekat dengan proses lelang menyebut adanya indikasi persekongkolan antara PPK dan kontraktor pemenang cadangan, CV. Pilar Permata Abadi.
Tujuannya diduga untuk menggugurkan perusahaan pemenang utama, PT. Karya Bumi Konstruksi.
Nilai penawaran CV. Pilar Permata Abadi tercatat sebesar Rp14,388 miliar, angka yang lebih tinggi dan sangat mendekati Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dibandingkan penawaran pemenang awal.
Pola ini sering mengindikasikan adanya “kesepakatan” untuk memenangkan pihak tertentu.
Namun, aktor yang paling misterius adalah seorang pihak ketiga berinisial A. Nama ini disebut-sebut memiliki pengaruh besar dan kedekatan dengan lingkaran kekuasaan, mulai dari era bupati sebelumnya hingga bupati incumbent. A diduga berperan sebagai “pengunci” atau operator yang mengendalikan jalannya sejumlah proyek strategis daerah, termasuk tender Jembatan Periangan.
Keberadaannya menjadi bukti bahwa masalahnya mungkin lebih dalam dari sekadar kelalaian teknis, tetapi telah merambah pada praktik mafia proyek yang terorganisir.
Tembok Bisu Konfirmasi
Upaya untuk mendapatkan konfirmasi resmi dari pihak terkait justru menguatkan dugaan adanya upaya untuk menutupi masalah.
Tim media berulang kali mencoba menghubungi PPK Dinas PUTR Ketapang melalui telepon dan aplikasi pesan, namun tidak pernah mendapat respons.
Sementara itu, Ketua Kelompok Kerja (Pokja) ULP, Dedi Norfiandi, ketika dihubungi via WhatsApp, hanya memberikan jawaban standar: bahwa seluruh informasi terkait tender adalah “satu pintu melalui Kepala Bagian Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ).”
Upaya konfirmasi ke LPSE Ketapang juga tidak membuahkan jawaban yang jelas mengenai alasan tertundanya proses kontrak. Tembok bisu ini adalah bentuk klasik dari birokrasi yang tidak transparan ketika dihadapkan pada pertanyaan kritis.
Pilot Proyek Mandek
Jembatan Periangan bukanlah satu-satunya korban. Proyek serupa, Jembatan Pawan VI, juga berada dalam nasib yang tidak jauh berbeda.
Informasi menyebutkan penandatanganan kontrak telah dilakukan, namun pelaksanaan di lapangan masih gelap. Dua proyek strategis ini menjadi bukti kegagalan sistem pengadaan yang berulang.
Situasi ini memunculkan pertanyaan besar Mengapa status tender Jembatan Periangan di website LPSE dinyatakan selesai, namun kontrak tidak kunjung diterbitkan? Dan mengapa Jembatan Pawan VI yang kontraknya sudah ditandatangani, pelaksanaannya tidak jelas? Ini adalah pertanyaan yang menuntut jawaban tegas dari Pemerintah Kabupaten Ketapang.
Desakan untuk Aksi Hukum
Publik dan pengamat semakin vokal mendesak Aparat Penegak Hukum (APH), termasuk Kejaksaan Negeri Ketapang dan Kepolisian Resor Ketapang, untuk segera turun tangan.
Desakan juga ditujukan kepada Inspektorat Kabupaten dan Bupati Ketapang untuk melakukan audit kinerja menyeluruh terhadap Dinas PUTR dan mengevaluasi pejabat yang terlibat.
Praktik persekongkolan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah secara tegas dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, serta diatur secara rinci dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021.
Jika dugaan pengguguran pemenang lelang secara tidak sah untuk mengalihkan proyek ke pihak lain dapat dibuktikan, maka tindakan tersebut dapat berimplikasi hukum pidana korupsi.
Jembatan telah menjadi ujian nyata bagi integritas Pemerintah Kabupaten Ketapang. Proyek ini adalah cermin bagaimana uang rakyat dikelola atau lebih tepatnya, disia-siakan.
Setiap tiang beton yang terbengkalai, setiap besi yang berkarat, adalah saksi bisu dari sebuah pengkhianatan terhadap kepercayaan publik.
Sorotan yang semakin tajam dari media dan masyarakat harus menjadi cambuk bagi pemerintah daerah untuk bertindak.
Membiarkan proyek ini mangkrak lebih lama bukan hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga merupakan bentuk pembiaran terhadap praktik koruptif yang menggerogoti fondasi pembangunan.
Nasib Jembatan kini tidak hanya menentukan akses transportasi warga, tetapi juga masa depan akuntabilitas dan tata kelola pemerintahan yang bersih di Bumi Batiwakkal. Warga menunggu, bukan hanya untuk jembatan, tetapi untuk keadilan.
Praktisi Hukum Kalimantan Barat, Sudirman, S.H., mengungkap fakta yang lebih mencengangkan. Menurutnya, PT Gunung Baja Permata, perusahaan yang ditunjuk sebagai pemasok rangka baja jembatan pada tahun 2024, ternyata tidak memiliki sertifikat kelayakan untuk software critical seperti AutoCad, SAP 2000, dan Tekla.
Padahal, ini adalah syarat wajib yang tercantum dalam dokumen lelang. Yang lebih mencurigakan, CV Pilar Permata Abadi justru ditetapkan sebagai pemenang tender.
“Diduga Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Dinas PUTR, Rahmat, main mata dengan perusahaan yang tidak memenuhi spesifikasi teknis tersebut,” tegas Sudirman. Ini adalah indikasi kuat pelanggaran prosedur yang dapat merugikan negara. (ARP)