PARAH TIDAK MANUSIAWI Tiket Pesawat Citilink Hangus! Penumpang Geram Gagal Terbang 1 Menit

Hanya selisih satu menit dari batas waktu check-in maskapai Citilink, tiket penerbangannya dari Jakarta ke Pontianak dinyatakan hangus dan tidak dapat diklaim refund.
Hanya selisih satu menit dari batas waktu check-in maskapai Citilink, tiket penerbangannya dari Jakarta ke Pontianak dinyatakan hangus dan tidak dapat diklaim refund.

BANTEN, Infokalbar.com – Sebuah insiden pelayanan penerbangan yang mencengangkan terjadi pada Rabu, 12 November 2025.

Deva, seorang calon penumpang, harus menelan pil pahit kekecewaan akibat kebijakan maskapai Citilink yang dinilai kaku dan tidak manusiawi.

Hanya selisih satu menit dari batas waktu check-in, tiket penerbangannya dari Jakarta ke Pontianak dinyatakan hangus dan tidak dapat diklaim refund.

Kekecewaannya begitu terasa. Pria tersebut mengungkapkan kronologi nahas yang dialaminya di luar nalar akal manusia sehat.

Penerbangan Citilink QG 416 yang dijadwalkan berangkat dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta (CGK) pukul 11.30 WIB dan tiba di Bandara Internasional Supadio (PNK) pukul 13.05 WIB, harus ia tinggalkan.

Ia tiba di loket check-in pukul 10.45 WIB, atau hanya satu menit setelah batas waktu check-in yang ditetapkan.

“Close cek in 10.45 WIB. Telat satu menit. Minta balik duit, alasannya hangus tiket 1 kali perjalanan,” ujarnya, menirukan alasan yang diberikan petugas maskapai.

“Close cek in 10.45 WIB. Telat satu menit. Minta balik duit, alasannya hangus tiket 1 kali perjalanan,” kata Deva soal buruknya pelayanan maskapai milik pemerintah RI Garuda Indonesia, Citilink dengan nomor penerbangan Citilink QG 416 Bandara Soekarno Hatta 11.30 WIB. Estimasi tiba di Bandara Supadio Pontianak Kubu Raya Kalimantan Barat 13.05.

Yang membuatnya semakin geram, pesawat seharusnya ia tumpangi ternyata baru benar-benar lepas landas pada pukul 12.00 WIB.

Artinya, secara teknis, masih ada celah waktu jika maskapai bersikap lebih fleksibel.

Namun, alih-alih mendapat pertolongan, Deva justru dipaksa membeli tiket baru secara penuh untuk bisa meneruskan perjalanannya.

“Padahal jam 12.00 WIB pesawat baru terbang. Beli lagi tiket Rp1.360.000. Bayar 100 persen,” keluhnya dengan nada kesal. Kerugian materiil sebesar itu untuk sebuah ketelatan yang sangat minim.

“Padahal jam 12.00 WIB pesawat baru terbang. Beli lagi tikeit Rp1.360.000. Bayar 100 persen,” kata Deva.

Sejarah Kelam Baru

Bagi dia, pengalaman ini adalah yang terburuk dalam sejarahnya menggunakan jasa penerbangan. Ia pun menegaskan bahwa dirinya tidak sendirian.

Masalah serupa juga dialami oleh penumpang lain dengan rute yang berbeda, menunjukkan bahwa ini mungkin adalah problem sistemik, bukan sekadar human error di satu loket.

“Pokoknya ini terparah dalam sejarah,” tegasnya. “Banyak juga penumpang mengalami hal sama. Yang ke Palangkaraya Kalimantan Tengah alami kejadian sama.”

Aturan Atau Pembiaran?

Insiden ini memantik pertanyaan mendasar tentang sejauh mana perlindungan terhadap konsumen jasa penerbangan di Indonesia.

Aturan batas waktu check-in (check-in deadline) memang standard operational procedure (SOP) berlaku global untuk memastikan proses boarding dan keberangkatan pesawat berjalan lancar.

Tujuannya adalah untuk mengantisipasi antrean keamanan, proses baggage handling, dan administrasi lainnya.

Namun, penerapannya yang kaku dan tanpa empati seringkali menuai polemik. Dalam kasus Deva, selisih waktu satu menit berujung pada kerugian finansial Rp 1,3 juta terasa sangat tidak proporsional.

Apalagi, fakta bahwa pesawat baru terbang setengah jam setelah jadwal keberangkatan resmi semakin memperkuat argumen ketidakadilan ini.

Ironi Mencari Solusi

Pertanyaannya, di mana letak kemanusiaan dalam bisnis penerbangan? Beberapa maskapai di dunia telah mengadopsi sistem lebih fleksibel, seperti grace period singkat atau opsi untuk memindahkan penerbangan dengan membayar denda wajar, bukan menghanguskan seluruh nilai tiket.

Kebijakan “no-show” yang menghanguskan tiket sepenuhnya kerap dianggap sebagai hukuman yang terlalu berat untuk kesalahan kecil.

Konsumen seperti Deva seolah tidak memiliki daya tawar. Kebutuhan untuk segera sampai di tujuan memaksanya untuk merogoh kocek dalam-dalam.

Sebuah pilihan yang pahit dan terasa seperti pemerasan terselubung. Kasus ini seharusnya menjadi cambuk bagi regulator.

Dalam hal ini Kementerian Perhubungan, untuk meninjau ulang keputusan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara mengenai perlindungan konsumen, khususnya pada poin “no-show”.

Protes Nyata

Apa yang dialami Deva dan penumpang lain ke Palangkaraya Kalimantan Tengah bukanlah sekadar keluhan.

Ini adalah bentuk protes nyata terhadap layanan maskapai pelat merah mengingat Citilink adalah anak perusahaan Garuda Indonesia.

Sebagai BUMN, seharusnya Citilink menjadi contoh terdepan dalam pelayanan prima, bukan justru menjadi pelaku utama dalam kisah-kisah pilu penumpang.

Data dari kasus ini menunjukkan adanya potensi mismatch antara SOP dan realitas operasional di bandara.

Jika pesawat sendiri sering delay, apakah adil jika penumpang dihukum sedemikian berat untuk ketelatan hitungan menit?

Kisah Deva adalah pengingat bagi semua calon penumpang untuk selalu datang lebih awal ke bandara, setidaknya 2-3 jam sebelum keberangkatan untuk penerbangan domestik.

Namun, di sisi lain, ini juga menjadi tamparan keras bagi industri penerbangan nasional hancur lebur kayak bubur.

Efisiensi operasional tidak boleh mengabaikan aspek keadilan dan kepuasan pelanggan.

Insiden satu menit yang berujung pada kerugian jutaan rupiah ini harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah dan manajemen Citilink.

Tanpa perbaikan sistem dan pendekatan yang lebih manusiawi, kepercayaan publik akan terus terkikis.

Ironi slogan-slogan layanan terbaik akan terdengar semakin hampa di telinga konsumen yang dirugikan.

(ARP)