PRESIDEN PRABOWO SUBIANTO WAJIB BACA! Sungai Sekadau Merintih: PETI Ganas, Oknum Aparat Bermain Mata

Beginilah kondisi Sungai Sekadau di Kalimantan Barat terancam rusak parah akibat maraknya aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI). Dampaknya, air berubah keruh, ikan mati massal, dan masyarakat kehilangan sumber kehidupan.
Beginilah kondisi Sungai Sekadau di Kalimantan Barat terancam rusak parah akibat maraknya aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI). Dampaknya, air berubah keruh, ikan mati massal, dan masyarakat kehilangan sumber kehidupan.

SEKADAU, Infokalbar.com – Seorang lelaki duduk termenung di tepian Sungai Sekadau. Matanya berkaca-kaca, menatap air yang tak lagi jernih. Butir-butir air mata jatuh, menyatu dengan keruh sungai yang menjadi saksi bisu kepedihan warga.

Ini bukan sekadar lukisan kesedihan personal, melainkan potret buram krisis lingkungan yang melanda Kalimantan Barat.

Aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang kian marak di Kecamatan Nanga Mahap, Kabupaten Sekadau, mengubah sungai kehidupan menjadi lumpur penderitaan.

Berdasarkan laporan masyarakat dan pemantauan lapangan, kondisi Sungai Sekadau menunjukkan degradasi yang mengkhawatirkan.

Warna air berubah menjadi cokelat pekat, dengan tingkat kekeruhan jauh di atas ambang batas normal.

Hasil uji sederhana parameter pH air oleh warga menunjukkan angka di luar standar layak pakai, baik untuk mandi, mencuci, maupun kebutuhan domestik lainnya.

Dampaknya langsung terasa: ikan-ikan di keramba warga mati mendadak, diduga kuat akibat paparan bahan kimia beracun seperti merkuri dan sianida yang digunakan dalam proses PETI.

Desa Tembaga, Landau Apin, Batu Pahat, dan Lembah Beringin menjadi episentrum kerusakan, dengan sedikitnya 500 unit mesin tambang (set) masih beroperasi aktif.

Aparat Terus Bermain

Ironi pahit terungkap ketika penegakan hukum justru dinilai lamban dan tebang pilih.

Masyarakat setempat menuding adanya oknum Kapolsek Nanga Mahap yang diduga “main mata” dengan pelaku PETI.

Praktik ini membuat operasi penertiban seperti wayang kulit—tampak bergerak di permukaan, namun tak menyentuh akar masalah.

Sudirman, seorang praktisi hukum Kalimantan Barat, secara tegas menyatakan,
“PETI selalu berlindung di balik APH. Meski ada tindakan, aktivitas ini tak pernah berhenti karena oknum aparat turut bermain,” tegasnya.

Statement ini memperkuat dugaan kolusi yang memperpanjang napas kehancuran lingkungan.

Dampak Ekologis Brutal

Kerusakan ekosistem Sungai Sekadau bukan sekadar persoalan air keruh. Hilangnya keanekaragaman hayati, terganggunya siklus hidrologi, dan ancaman kesehatan publik menjadi bayang-bayang panjang yang harus ditanggung masyarakat.

Bahan kimia dari PETI tidak hanya mencemari air, tetapi juga meresap ke tanah dan mengontaminasi rantai makanan.

Jika dibiarkan, dampaknya akan bersifat permanen dan memerlukan pemulihan puluhan tahun.

“Kami seperti diabaikan,” keluh seorang warga Desa Batu Pahat. “Dulu, sungai ini adalah sumber kehidupan. Kini, ia jadi sumber bencana.”

Jeritan serupa bergema dari berbagai desa. Warga yang menggantungkan hidup pada sungai kini terancam kehilangan mata pencaharian.

Mereka mendesak Pemerintah Kabupaten Sekadau dan pemerintah provinsi untuk turun tangan, menertibkan PETI, dan memulihkan lingkungan. Penyelamatan Sungai Sekadau memerlukan pendekatan multidimensi.

Pertama, penegakan hukum yang berintegritas dan transparan, termasuk pemeriksaan internal terhadap oknum aparat yang terlibat.

Kedua, pemulihan lingkungan dengan metode bioremediasi dan pemberdayaan masyarakat untuk menjaga ekosistem.

Ketiga, penguatan regulasi dan pengawasan berbasis teknologi, seperti drone dan satelit, untuk memantau titik rawan PETI.

Jika tidak ada intervensi serius, Sungai Sekadau bukan hanya akan kehilangan kejernihannya, tetapi juga nyawa.

Krisis ini adalah ujian bagi komitmen pemerintah dan masyarakat dalam menjaga warisan alam untuk generasi mendatang. Saatnya bertindak, sebelum sungai hanya tinggal cerita. (ARP)