Kejaksaan Negeri Sanggau Berhasil Ciptakan Keadilan Melalui Restorative Justice

Sanggau – Jaksa Agung RI yang diwakili oleh Direktur Oharda, Nanang Ibrahim Soleh, memimpin ekspose untuk menyetujui permohonan penyelesaian perkara melalui mekanisme keadilan restoratif (Restorative Justice) yang diajukan oleh Kejaksaan Negeri Sanggau pada Rabu, 2 Oktober 2024.

Perkara yang diselesaikan melibatkan Tersangka Herman alias Adek bin Ambram, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang pencurian. Kasus ini bermula pada 4 Agustus 2024, ketika tersangka memasuki toko pakaian “Sahabat Kita” milik korban, Pery Ermanysah, dan mengambil 13 helai pakaian. Dari jumlah tersebut, 10 helai dijual seharga Rp 250.000, sedangkan 3 helai lainnya dipakai untuk dirinya sendiri. Akibat perbuatan tersangka, korban mengalami kerugian sebesar Rp 2.500.000.

Kepala Kejaksaan Negeri Sanggau, Dedy Irwan Virantama, menginisiasi penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice. Dalam proses perdamaian, tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada korban, yang kemudian diterima dengan baik. Korban juga meminta agar proses hukum terhadap tersangka dihentikan.

Dedy Irwan mengatakan, melalui pendekatan restorative justice, kita dapat menciptakan keadilan yang tidak hanya berfokus pada hukuman, tetapi juga pada pemulihan hubungan antara korban dan pelaku. Ini adalah langkah penting dalam menciptakan masyarakat yang harmonis.

Setelah tercapainya kesepakatan, Kepala Kejaksaan Negeri Sanggau mengajukan permohonan penghentian penuntutan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat. Permohonan tersebut disetujui dan ditindaklanjuti oleh Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat, Bapak Subeno, dalam ekspose Restorative Justice.

Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan dengan beberapa pertimbangan, antara lain:

  1. Proses perdamaian telah dilaksanakan, di mana tersangka meminta maaf dan korban menerimanya.
  2. Tersangka belum pernah dihukum dan ini adalah perbuatan pidana pertamanya.
  3. Ancaman pidana tidak lebih dari 5 tahun.
  4. Tersangka berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.
  5. Proses perdamaian dilakukan secara sukarela tanpa tekanan.
  6. Tersangka dan korban sepakat untuk tidak melanjutkan perkara ke persidangan.
  7. Respon positif dari masyarakat terhadap penyelesaian ini.

JAM-Pidum kemudian memerintahkan Kepala Kejaksaan Negeri Sanggau untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penyelesaian Perkara Berdasarkan Keadilan Restoratif (RJ-35) sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Dalam sambutannya, Deddy Irwan Virantama menegaskan pentingnya keadilan restoratif sebagai pendekatan inovatif dalam penegakan hukum. “Kita perlu menjaga keseimbangan dalam masyarakat. Melalui restorative justice, kita memberi kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki kesalahannya dan kepada korban untuk mendapatkan kompensasi yang adil,” ungkapnya.

Mantan koordinator di Kejaksaan Agung ini juga memberikan apresiasi kepada semua pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian perkara ini, terutama kepada korban yang dengan bijaksana memberi kesempatan kedua kepada tersangka untuk kembali ke masyarakat. “Semoga penerapan restorative justice ini dapat menjadi inspirasi dan memberikan dampak positif bagi masyarakat,” tutupnya. (Tasya)