
Aktivitas tambang emas ilegal di Kalimantan Barat menjamur. Sorotan tajam itu mengarah ke Toko Sandai Disel yang berlokasi di Jalan Merdeka Timur (Jalan Raya Sintang-Sekadau).
Toko milik pengusaha berinisial AC ini diduga kuat menjadi penampung emas hasil tambang ilegal, sekaligus penyuplai peralatan pertambangan.
Parahnya, meski dugaan ini sudah beredar sejak lama, toko tersebut masih beroperasi tanpa sentuhan hukum. Benarkah aparat setempat justru membiarkan bisnis ilegal ini.
Fakta di Lapangan Toko Sandai Disel Bukan Sekadar Penjual Emas
Pantauan tim investigasi menunjukkan bahwa Toko Sandai Disel tidak hanya berjualan emas biasa.
Di etalase dan gudangnya, tersimpan rapi peralatan pertambangan seperti mesin diesel, selang spiral, hingga alat penyaring logam.
“Ini jelas bukti keterkaitan langsung dengan jaringan tambang ilegal. Mereka tidak hanya membeli hasil tambang, tapi juga memfasilitasi operasionalnya,” tegas Sekretaris Jenderal Forum Wartawan (FW) dan LSM Indonesia, Wawan Daly Suwandi.
Lebih mencengangkan, sumber internal mengungkap bahwa toko ini rutin membeli emas tidak hanya dari wilayah Sekadau tapi membeli juga dari Sanggau. Padahal, emas dari daerah tersebut mayoritas berasal dari tambang ilegal .
“Transaksi lintas kabupaten ini jelas melanggar UU Minerba. Tapi kenapa tidak ada yang berani menindak,” Wawan Daly Suwandi menegaskan.
Isu keterlibatan adanya salah seorang oknum kepala desa di Kabupaten Sanggau semakin memperkuat dugaan adanya “perlindungan” sistemik.
Menurut laporan warga setempat, oknum tersebut sering terlihat berkunjung ke lokasi tambang ilegal dan diduga menerima “upeti” dari pemilik toko.
“Mereka seperti punya kartu get-out-of-jail-free dalam permainan monopoli. Hukum seolah tak berlaku bagi yang punya uang dan kekuasaan,” sindir seorang warga setempat.
Lemahnya Pengawasan Regulasi Tumpul di Tangan Aparat
Meski UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sudah jelas melarang aktivitas tambang tanpa izin, implementasinya di Kalimantan Barat terkesan setengah hati.
Data Kementerian ESDM mencatat, sepanjang tahun, lebih dari 500 hektare lahan di Sanggau dan Sekadau rusak akibat tambang ilegal.
Namun, dari ribuan laporan, hanya 15% yang ditindaklanjuti. “Ini bukti aparat kita lebih sibuk mengurus laporan daripada mengeksekusi pelaku,” kritik Sekretaris Jenderal Forum Wartawan (FW) dan LSM Indonesia, Wawan Daly Suwandi.
Dampak Sosial dan Lingkungan Masyarakat Jadi Korban
Praktik tambang ilegal yang didiga didukung oleh toko seperti Sandai Disel tidak hanya merugikan negara (potensi kerugian pajak mencapai Rp 50 miliar per tahun), tetapi juga merusak ekosistem.
Tuntutan Rakyat: Bareskrim Polri Harus Jadi “Pahlawan”
Sekretaris Jenderal Forum Wartawan (FW) dan LSM Indonesia, Wawan Daly Suwandi, mendesak Bareskrim Polri turun langsung menangani kasus ini.
“Kami curiga ada konflik kepentingan di tingkat lokal. Hanya institusi sekelas Bareskrim yang bisa membongkar jaringan ini,” tegas Sekretaris Jenderal Forum Wartawan (FW) dan LSM Indonesia, Wawan Daly Suwandi/
Pertanyaannya, mampukah Bareskrim Polri membuktikan komitmennya menegakkan hukum? Atau justru kasus ini akan tenggelam seperti ratusan laporan sebelumnya? Hanya waktu yang bisa menjawab.
Ironi Kebal Hukum di Negeri Yang Katanya Pancasila
Kasus Toko Sandai Disel adalah cermin buram penegakan hukum di Indonesia. Di tengah retorika anti korupsi, praktik bisnis ilegal dengan sokongan oknum berkuasa masih merajalela di 14 kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat.
Jika negara serius menjaga lingkungan dan kedaulatan sumber daya alam, tindakan tegas terhadap toko ini harus segera diambil.
Sebab, seperti kata pepatah: “Hukum yang tidak ditegakkan ibarat harimau tanpa gigi—gagah tapi tak berdaya.”
Adapun AC yang diduga selaku pemilik toko Sandai, hingga berita ini ditulis belum ada tanggapan.
Itu di saat diminta keterangan konfirmasi tim investigasi. Baik itu melalui telepon seluler maupun pesan layanan WhatApp. ***