Kasus dugaan perselingkuhan antara Kepala Desa Sekabuk dan Kepala Puskesmas menjadi sorotan nasional. Isu asusila mencoreng moralitas pemimpin lokal, menyebabkan kemarahan warga, dan mengundang pertanyaan tentang efektivitas sistem hukum di Indonesia.
MEMPAWAH, Infokalbar.com – Di tengah tugas mulia membangun desa, seorang kepala desa di Desa Sekabuk, Kecamatan Sadaniang, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, justru menjadi sorotan karena alasan yang jauh dari kata membanggakan.
Bukan karena prestasi pembangunan infrastruktur atau pemberdayaan masyarakat, melainkan dugaan perselingkuhan dengan Kepala Puskesmas setempat.
Sebagai pemimpin publik, sejatinya seorang kepala desa adalah ujung tombak dalam mewujudkan kesejahteraan warganya.
Namun, apa yang terjadi di Desa Sekabuk malah menggambarkan ironi besar. Alih-alih fokus pada pembangunan desa, sang kades malah terjerembab dalam pusaran isu asusila yang mencoreng nama baik masyarakat sekitar.
Warga pun tak tinggal diam. Aksi protes dilakukan sebagai bentuk kekecewaan mereka. “Kami merasa dirusak oleh isu ini. Ini bukan hanya masalah pribadi, tetapi juga telah mencoreng nama baik kami sebagai masyarakat Sekabuk,” ujar salah seorang warga saat berdemo menuntut klarifikasi.
Ketika Jabatan Jadi Alat untuk Pamer Pesona
Jika dicermati lebih dalam, kasus ini bukan sekadar soal hubungan gelap antara dua orang dewasa. Lebih dari itu, ini adalah cerminan bagaimana jabatan sering kali digunakan sebagai alat untuk meningkatkan daya tarik personal.
Sebagai kepala desa, tentu saja ia memiliki akses luas ke berbagai sumber daya—baik materi maupun non-materi. Apakah ini yang membuatnya begitu percaya diri mendekati Kepala Puskesmas?
Bagi masyarakat desa, sosok kepala desa adalah representasi moralitas tertinggi. Ia diharapkan menjadi teladan bagi warganya, bukan malah menjadi pelaku skandal yang mempermalukan.
Namun, ironisnya, banyak pemimpin lokal seperti ini justru lupa bahwa tanggung jawab utama mereka adalah menjaga amanah, bukan mengejar cinta terlarang.
Drama “Cinta Segitiga” di Negeri Seribu Janji
Tentu saja, kita tidak bisa membahas satu pihak tanpa melibatkan pihak lainnya. Kepala Puskesmas, yang notabene adalah mitra kerja sang kades, juga turut terseret dalam pusaran kontroversi ini.
Bagaimana mungkin seorang pejabat publik yang bertugas melayani kesehatan masyarakat justru terlibat dalam skandal asusila? Apakah ini pertanda bahwa integritas para pemimpin lokal kita mulai rapuh?
Ironisnya lagi, drama cinta segitiga ini tidak hanya melibatkan dua tokoh utama tersebut, tetapi juga istri sah sang kades.
Bayangkan betapa hancurnya perasaan seorang istri ketika suaminya diduga selingkuh dengan kolega kerjanya.
Bukankah ini gambaran nyata bahwa ketika amanah dilupakan, maka keluarga pun ikut menjadi korban?
Warga Marah, Tapi Apakah Hukum Bisa Berpihak?
Aksi protes warga Desa Sekabuk menunjukkan bahwa masyarakat masih peduli terhadap moralitas pemimpin mereka. Namun, pertanyaannya adalah: apakah hukum akan berpihak kepada rakyat kecil?
Di Indonesia, kasus-kasus seperti ini sering kali diselesaikan secara damai di balik layar, tanpa ada kejelasan apakah pelaku benar-benar mendapatkan sanksi.
Padahal, jika ditelisik lebih dalam, tindakan asusila seperti ini jelas melanggar kode etik pejabat publik. Sebagai kepala desa, ia memiliki tanggung jawab moral dan legal terhadap masyarakatnya.
Jika ia gagal menjaga integritas, maka sudah sepantasnya ia dipertanyakan kelayakannya untuk memimpin.
Namun, sayangnya, sistem hukum di Indonesia sering kali lemah dalam menangani kasus-kasus seperti ini.
Banyak pejabat publik yang terlibat skandal malah lolos tanpa konsekuensi serius. Apakah ini pertanda bahwa kita masih hidup dalam budaya impunitas?
Refleksi Atas Moralitas Pemimpin Lokal
Kasus ini seharusnya menjadi pembelajaran bagi semua pihak, terutama para calon pemimpin lokal.
Jabatan bukanlah alat untuk mengejar kepuasan pribadi, melainkan amanah yang harus dijalankan dengan segenap tanggung jawab.
Ketika seorang pemimpin lupa akan hal ini, maka ia tidak hanya mengkhianati rakyatnya, tetapi juga mengkhianati dirinya sendiri.
Sebagai masyarakat, kita juga harus lebih kritis terhadap pemimpin kita. Jangan sampai kita memilih pemimpin hanya karena janji manis, tanpa mempertimbangkan rekam jejak moralitasnya.
Ingatlah bahwa pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu menjaga amanah, bukan mereka yang hanya pandai bersilat lidah.
Akhir Dari Sebuah Era?
Apakah kasus ini akan menjadi akhir dari karier politik sang kades? Ataukah ia akan tetap bertahan di kursi kekuasaan meskipun sudah tercoreng nama baiknya? Jawaban atas pertanyaan ini sangat bergantung pada sikap masyarakat dan penegak hukum.
Namun, satu hal yang pasti: skandal ini telah memberikan tamparan keras bagi dunia politik lokal di Indonesia.
Semoga kejadian ini bisa menjadi momentum untuk memperbaiki sistem seleksi pemimpin, sehingga ke depannya kita tidak lagi menemukan kasus-kasus serupa. (Iwan/*)