KALBAR, infokalbar.com – Teror dan peretasan terhadap kelompok masyarakat sipil saat pelaksanaan aksi menyatakan pendapat kembali terjadi. Setelah heboh kasus teror dan peretasan yang dialami Indonesia Corruption Watch (ICW) baru-baru ini, kini hal serupa juga dialami oleh Gerakan Rakyat Anti-Korupsi (Gertak) Kalimantan Barat saat menggelar “Mimbar Bebas” yang merespon isu pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada Kamis (03/06/2021) kemarin.
Aksi “Mimbar Bebas” ini juga dirangkai dengan diskusi dan pemutaran film “The End Game”: Ronde Terakhir Melawan Korupsi yang diproduksi Watchdoc, pada Sabtu (05/06/2021) malam.
Berdasarkan siaran pers yang diterima infokalbar.com, Sabtu (05/06/2021), Sri Haryanti, salah seorang anggota Gertak menyampaikan, terdapat beberapa gangguan yang dialami pihaknya selama acara berlangsung. Diantaranya, upaya peretasan, food bombing, penyebaran data pribadi (doxing), hingga teror digital berupa telepon (robocall) dari berbagai nomor tidak dikenal kepada sejumlah rekan dalam barisan Gertak.
“Setidaknya, sejak Kamis (3/6/2021) terdapat 5 orang anggota Gertak yang mengalami upaya hina tersebut, yang masih berlangsung bahkan hingga siaran pers ini disebarkan,” ujarnya.
Sri Haryanti menceritakan, kronologis bermula saat pihaknya tengah melakukan aksi, dimana seorang rekan yang juga narahubung pada acara nonton bareng, dikagetkan dengan adanya peretasan terhadap akun aplikasi pemesanan online.
Menurut Anti, panggilan akrabnya, upaya peretasan atas nama rekannya itu menjurus pada tindakan “pesanan palsu” berupa 4 pesanan makanan secara berturut-turut (food bombing) melalui satu layanan aplikasi. Rekan Anti terpaksa membayar ratusan ribu rupiah “pesanan palsu” makanan tersebut.
Tak hanya itu, berdasarkan rekaman data layanan aplikasi tersebut, tercatat rekan Anti telah melakukan 1 pesanan angkutan online, namun kemudian dibatalkan oleh pengemudi. Padahal, rekan Anti tidak pernah melakukan pemesanan makanan maupun angkutan online. Bahkan aplikasi tersebut sudah tidak digunakan dan dihapus dari gawai rekannya sejak 2020.
Setelah aksi, Anti dan rekan-rekannya mencoba menelusuri bahwa akun aplikasi surel dan layanan daring satu rekan itu telah diretas. Tidak sampai di situ, pada malam hari, sekitar pukul 19.54 WIB rekan Anti itu menghadapi upaya peretasan terhadap akun aplikasi pesan pribadinya (WhatsApp).
Upaya peretasan juga dialami oleh dua orang rekan Anti yang lain. Mereka mendapati permintaan one time password (OTP) melalui pesan singkat (SMS) dan telepon, sebagai indikasi upaya mengambil alih akun. Hal ini terjadi secara berulang kali hingga Sabtu (5/6/2021).
“Upaya lain yang dilakukan peneror adalah menghubungi melalui panggilan telepon dan pesan singkat (SMS) dengan nomor tidak dikenal,” jelasnya.
Tak hanya kepada rekan-rekannya, lebih lanjut, disampaikan Anti, bahkan dirinya sendiri dan seorang dosen IAIN Pontianak juga mengalami upaya peretasan.
“Saya adalah pembicara di diskusi nobar (nonton bareng). Satu pembicara lain adalah akademisi dari IAIN Pontianak. Kami ditelepon puluhan kali oleh nomor tidak dikenal,” katanya.
Berdasarkan penelusuran, Anti menyatakan, semua aksi teror itu menggunakan nomor yang sama, dan upaya tersebut masih terus berlangsung sampai rilis ini disampaikan. Anti beserta keempat rekannya yang menjadi sasaran upaya peretasan, memang terpublikasi dalam selebaran digital pemutaran film.
Dari tiga orang yang mendapat upaya peretasan akun WhatsApp, dua di antaranya merupakan narahubung, dan satu orang adalah moderator acara.
“Apabila dicermati, sebenarnya hanya dua orang narahubung yang tertera nomor kontak dalam selebaran. Sedangkan moderator dan kedua pembicara tidak dicantumkan nomor kontak. Saya menyimpulkan, artinya selain upaya peretasan dan teror, terdapat tindakan penyebaran data informasi personal (doxing) yang juga dilakukan, yaitu terhadap moderator acara dan kedua pembicara,” katanya.
Sebelumnya, isu pelemahan KPK kembali menjadi wacana publik. Merespon isu tersebut, kelompok masyarakat sipil merasa perlu bersikap dengan menyampaikan penolakan atas keputusan tersebut.
Namun sayangnya, dalam proses mengungkapkan pendapat–yang secara tegas dilindungi oleh Konstitusi di Indonesia, dibalut dengan aksi-aksi yang tidak terpuji.
“Teror serupa juga sempat dialami oleh rekan-rekan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) beberapa waktu lalu. Ternyata upaya peretasan tersebut terjadi bukan hanya di Jakarta, melainkan di Pontianak saat melangsungkan diskusi dan aksi mengenai tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK,” terangnya.
Anti menyatakan, rangkaian teror tersebut menguatkan dugaan ada yang merasa terganggu terhadap advokasi dan kampanye isu TWK.
“Kami melihat adanya relasi yang kuat antara pelemahan KPK, dengan pengkerdilan ruang bagi masyarakat sipil untuk menyampaikan suara dan ekspresi keresahan, atas serangkaian upaya pelemahan KPK. Puncak pelemahan KPK adalah pemecatan 75 orang pegawai KPK, yang dianggap tidak memiliki wawasan kebangsaan,” papar Anti.
Dia pun menilai, bahwa kejadian ini merupakan bentuk kemunduran demokrasi di Indonesia. Anti mengingatkan bahwa demokrasi menjamin kebebasan berekspresi, keamanan data pribadi, dan perlindungan terhadap HAM.
Dalam kesempatan yang sama, Anti menegaskan bahwa rangkaian upaya peretasan, teror, dan penyebaran data informasi tersebut sama sekali tidak akan menyurutkan upaya Gertak untuk menyampaikan informasi kepada publik.
“Sikap dan aksi kami merupakan bentuk kecintaan kami terhadap negeri ini, dan penghormatan kami terhadap Pancasila. Kebenaran akan tetap menemukan jalannya.”
Terkait dengan peristiwa ini, Anti menyatakan Gertak Kalimantan Barat mengutuk keras segala bentuk pembungkaman, pengkerdilan yang dilakukan oleh pihak tidak bertanggung jawab terhadap rakyat dan telah memukul mundur demokrasi.
“Maka dengan ini kami juga berharap pihak berwenang, dapat mengusut tuntas berbagai upaya teror yang mengganggu, merugikan, serta mengancam kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum yang jelas telah dijamin oleh konstitusi,” tutup Anti. (FikA)