Berita  

Karyawan KBR di-PHK Sepihak, Pendamping Desak Perusahaan Cabut Putusan PHK

Keterangan foto: Karyawan mendapat PHK. (Ilustrasi/Internet/Istimewa)
Keterangan foto: Karyawan mendapat PHK. (Ilustrasi/Internet/Istimewa)

JAKARTA, infokalbar.com – 13 Januari 2022, Friska Kalia, eks pekerja dari PT Media Lintas Inti Nusantara (KBR) menjalani proses mediasi perselisihan hubungan industrial setelah pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak yang dilakukan oleh perusahaan pada September 2021 lalu.

Friska di-PHK oleh perusahaan setelah tiga unggahan media sosial miliknya dinyatakan perusahaan sebagai kesalahan berat atau mendesak. Perusahaan menganggap tiga unggahan tersebut telah mencemarkan nama baik perusahaan. 

Ketiga unggahan yang dimaksud perusahaan adalah status di media sosial Instagram dan Twitter pribadi pada 28 Juni, 27 Juli, dan 27 Agustus 2021. 

Dengan dalih itu, Friska kemudian di-PHK tanpa diberikan surat peringatan terlebih dahulu. Selain itu, ia di-PHK tanpa diberikan kompensasi berupa uang pesangon. Friska hanya ditawari untuk menguangkan sisa cuti dan upah pada bulan itu.  

Dalam surat PHK, perusahaan menyatakan bahwa kesalahan berat yang menjadi alasan PHK telah merujuk pada SK Direksi 019/HRD-MLIN/2021 Bab V: Pelanggaran Kelas E (Kesalahan Berat atau Alasan Mendesak) dengan nomor jenis pelanggaran “Membuat atau memberikan kesaksian, data, dokumen, atau keterangan yang salah atau palsu” dan “Mencemarkan nama baik pimpinan perusahaan, teman sekerja, pelanggan, vendor atau pihak lain dan tindakan apapun yang dapat dianggap mencemarkan nama baik perusahaan”.

Selain itu perusahaan juga mengklaim bahwa proses serta kompensasi yang diberikan telah sesuai dengan Pasal 52 ayat (2) PP 35 Tahun 2021.

Berdasarkan hal tersebut, AJI Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum Pers menyatakan bahwa:

1. Ketiga unggahan di media sosial yang menjadi alasan PHK Friska Kalia sangatlah tidak berdasar dan sepihak. Ketiga unggahan tersebut dimuat di akun media sosial pribadi milik Friska yang mana tidak ada keterangan adanya afiliasi dengan pihak perusahaan secara langsung.

Selain itu, jika dibaca secara keseluruhan, ketiga unggahan tersebut sama sekali tidak menyebutkan nama perusahaan. Ketiga unggahan tersebut hanyalah sebuah ungkapan dan ekspresi pribadi Friska sebagai pemilik akun. Sehingga menjadikannya sebagai alasan PHK jelas merupakan sebuah penilaian sepihak dan tidak berdasar.

2. Kebebasan mengeluarkan pendapat dan menyatakan pikiran merupakan sebuah hak asasi yang dijamin dalam konstitusi, UUD 1945 pasal 28 E ayat (2) dan (3), pun dijamin dalam UU 12/2005 tentang Ratifikasi  Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, UU 39/1999 Tentang HAM dan berbagai ketentuan hukum lainnya.

Ekspresi yang disampaikan Friska dalam unggahan di media sosial pribadinya seharusnya dipandang sebagai sebuah hak asasi, bukan justru dijadikan alasan untuk mengebiri hak-haknya sebagai pekerja. Terlebih lagi dalam unggahan tersebut, tidak ada satu pun nama atau identitas yang disebutkan secara langsung, maka PHK dengan hanya merujuk pada hal tersebut dapat diduga sebagai bentuk dari diskriminasi.

3. Pasal 52 ayat (2) PP 35/2021 yang menjadi salah satu dasar hukum yang dirujuk perusahaan juga meninggalkan catatan tersendiri. Hal tersebut mengingat bahwa kesalahan mendesak yang diacu dalam pasal tersebut dapat diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama. Posisi perusahaan dan pekerja sejak awal tidak berada dalam posisi seimbang, hal ini membuka potensi adanya kesewenang-wenangan perusahaan dalam menetapkan bentuk-bentuk kesalahan mendesak ke dalam instrumen perjanjian dan peraturan perusahaan tersebut.

Perusahaan seakan-akan diberikan kewenangan untuk mendefinisikan secara sepihak apakah seorang pekerja telah memenuhi unsur pelanggaran mendesak yang telah ditentukan tersebut. Selain itu, pasal ini memberikan kekuasaan kepada perusahaan untuk dapat melakukan PHK secara langsung tanpa diberikan pemberitahuan terlebih dahulu. Hal ini sangatlah berbahaya dan berpotensi disalahgunakan oleh perusahaan untuk melakukan PHK sepihak secara diskriminatif.

Ketentuan PHK dengan alasan mendesak ini juga berimbas pada kompensasi yang diberikan. Dengan terbukanya potensi melakukan interpretasi sepihak terkait kesalahan mendesak dan dimungkinkannya PHK tanpa pemberitahuan, kompensasi yang diberikan juga menghilangkan komponen pesangon dan uang penghargaan masa kerja. Hal ini juga dirasakan oleh Friska yang hanya menerima upah terakhir akibat ketentuan ini.

Atas berbagai dasar pertimbangan di atas, AJI Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum Pers mendesak kepada berbagai pihak untuk:

1. Manajemen PT Media Lintas Inti Nusantara (KBR) agar mencabut alasan PHK kepada Friska yang merujuk tiga unggahan di media sosial pribadinya sebagai sebuah pencemaran nama baik perusahaan.

2. Berbagai lembaga negara seperti Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi DKI Jakarta, Pengawas Ketenagakerjaan dan Menteri Ketenagakerjaan RI untuk ikut mengawal permasalahan ini.

3. Pemerintah bersama pihak legislator untuk mencabut dan membatalkan UU Cipta Kerja dan peraturan turunan di bawahnya yang banyak berisikan pasal-pasal bermasalah pemberangus hak-hak serta kesejahteraan pekerja. (Rilis/Wan Daly)

Narahubung:

– AJI Jakarta (081935007007)

– LBH Pers (082146888873)