SINGKAWANG, infokalbar.com – Wacana pembangunan gerbang tiga arah, Pontianak – Sambas – Bengkayang, oleh Pemkot Singkawang, ditanggapi beragam oleh berbagai pihak. Salah satunya tokoh masyarakat Kota Singkawang, Dedi Mulyadi, yang juga mantan anggota DPRD Kota Singkawang periode 2009-2014.
Kepada wartawan Infokalbar.com, Rabu tanggal 23 Februari 2022, Dedi menyampaikan, bahwa pihaknya secara umum menyambut baik wacana tersebut. Apalagi pembangunan itu memang ditujukan untuk keindahan kota. Namun begitu, lanjut Dedi, sebelum pembangunan tersebut dilakukan, haruslah melalui tahapan kajian yang matang terlebih dahulu.
“Harus lah dikaji, ditelaah, seperti apa urgensinya, apakah prioritas dan apa saja output dan manfaatnya bagi masyarakat Kota Singkawang,” ujar Dedi melalui pesan WhatsApp.
Lebih lanjut, Dedi mengatakan, tentu banyak faktor yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan, sehingga setiap pembangunan tidak akan menimbulkan dampak di masyarakat nantinya.
“Berkenaan wacana gerbang kota tiga arah dengan nuansa ornamen masing-masing yakni Melayu-Tionghoa dan Dayak yang akan dibangun Pemkot Singkawang, sebaiknya kembali dipikirkan.
Selain tentang urgensinya, prioritas atau tidak, bahwa apakah rencana tersebut juga akan menimbulkan dampak yang tidak sehat bagi kehidupan harmonis masyarakat di Kota Singkawang kedepannya,” katanya.
Menurut Dedi, yang juga diamanahkan sebagai Panglima Bala Komando Pemuda Melayu Markas Wilayah Kota Singkawang itu, bahwa Kota Singkawang ini dibangun oleh masyarakat majemuk dengan segala aktivitas dan kontribusi pembangunan dari berbagai lapisan masyarakat.
“Artinya bahwa kontribusi pembangunan terhadap Kota Singkawang selama ini bukan hanya dari tiga etnis yang ada seperti Dayak, Tionghoa dan Melayu (saja),” katanya.
“Ya, bahwa Singkawang dengan kepadatan penduduk dan pemukiman serta sentra-sentra ekonomi dan pembangunan di masyarakatnya bisa berkembang karena adanya peran dari multi etnis dan kemajemukan. Ibarat Bhineka Tunggal Ika yang terukir erat dicakar burung Garuda,” sambungnya.
“Kita harus sadar bahwa kita bercerita tentang saat ini atau peradaban sekarang, bahwa Singkawang milik multi etnis yang telah lama ikut berkontribusi dalam pembangunan dan segala harmonisasi di dalam masyarakatnya. Berbagai jenis suku dan bangsa, ada Bugis, Jawa, Madura, Padang, Sunda, Batak, Tambi, Ambon dan lain-lain,” terang Dedi
“Nah suku-suku dan bangsa tersebutlah yang juga telah hadir dan ikut membangun Kota Singkawang selama berpuluh tahun lamanya hingga saat ini. Kecuali kalau kita cerita tentang masa lalu, memang dominansi peradaban adalah dari ketiga etnis tersebut, tapi kan kita hidup dengan realita hari ini bahwa kita sangat majemuk dan plural,” katanya.
Dedi pun kembali menjelaskan posisinya, bahwa dia bukan menolak pembangunan tersebut, namun alangkah eloknya jika sebuah kebijakan pembangunan untuk menjaga toleransi dan kemajemukan yang ada, dapat dipertimbangkan lebih matang lagi.
“Maka saran kami, cobalah untuk dibangun tugu atau gerbang kota yang monumental–yang bersifat kejayaan atau kebersamaan dari seluruh etnis, suku dan bangsa yang ada, dan tidak mencerminkan salah satu etnis saja, baik Melayu, Tionghoa atau Dayak. Tapi bangunlah sebuah monumen pembangunan kejayaan kota bisa dengan ornamen atau motif-motif abstrak, asalkan dapat menggambarkan tentang kemajuan dan keunggulan Kota Singkawang, jadi janganlah sedikit-sedikit dibawa ke unsur etnis, akhirnya akan berdampak menimbulkan kecemburuan sosial diantara anak bangsa dan masyarakat kota Singkawang,” paparnya.
Dedi juga mengatakan bahwa sebagai kota tertoleran di Indonesia, wajib bagi kepemimpinan yang ada saat ini, menunjukkan sisi nasionalismenya, bukan justru nenonjolkan identitas tertentu dan primordialitasnya.
“Sekali lagi kami mohon, kepada segala unsur pemerintahan dalam memberikan gagas pembangunan janganlah membentuk sebuah polarisasi kesukuan, lupakan hal itu, karena kita sudah sangat nyaman hidup berdampingan selama ini, jangan lagi mengkotak-kotakkan, akan menimbulkan kecemburuan sosial,” katanya.
“Indonesia dan Singkawang ini merupakan negara dengan tingkat keberagaman tinggi. Tidak hanya berbeda suku, tapi juga ras, budaya dan agama. Semua keberagaman tersebut harus dimaknai sebagai anugerah yang patut dijaga bukan dipersoalkan,” jelasnya.
“Dengan adanya perbedaan beraneka ragam ini, masyarakat bangsa jangan sampai terkotak-kotak dan jangan melupakan Bhineka Tunggal Ika,” terang Dedi.
Ditambahkan Dedi lagi, bahwa dalam trilogi persaudaraan dikenal dengan namanya ukhuwah wathaniyah yang bermakna persaudaraan sebangsa. Dalam pengertian lain, bahwa persaudaraan kebangsaan harus didahulukan, mengingat hal ini sejalan dengan cita-cita para pendahulu bangsa yang ingin mempersatukan bangsa Indonesia.
“Pemerintah juga harus mampu merajut kebersamaan secara adil kepada seluruh rakyatnya. Ini dimaksudkan agar jangan ada pihak merasa dianaktirikan dan luput dari perhatian yang nantinya berujung pada tindak radikal dan terorisme. Itu akan sangat merugikan dan mengerikan dan berpotensi memecah belah bangsa. Sudah saatnya lah kita harus bijak. Jangan sampai ‘Garuda Menangis’ lagi,” tutup Dedi. (Indra)