Berita  

Kumham Goes to Campus, Wamenkumham: Tinggalkan Hukum Pidana Klasik Menuju Hukum Pidana Modern

Pontianak ,infokalbar.com

Sudah dua tahun ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) gencar melakukan sosialisasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) kepada masyarakat melalui kegiatan Kumham Goes to Campus. Mulai dari status Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP sampai dengan sekarang setelah disahkan pada 06 Agustus 2022 lalu.

Kali ini giliran Kalimantan Barat yang menjadi destinasi Kemenkumham untuk berdialog dengan mahasiswa Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak dan beberapa perwakilan Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di sekitar Pontianak, Kamis (15/06/2023).

Turut hadir Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Eddy O.S. Hiariej, Gubernur Kalbar Sutarmidji, Rektor Untan Garuda Wiko, Kakanwil Kemenkumham Kalbar Pria Wibawa, unsur Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kalbar, Pimpinan Tinggi Pratama pada Kanwil Kemenkumham Kalbar Kepala Divisi (Kadiv) Administrasi Dwi Harnanto, Kadiv Pemasyarakatan Ika Yusanti, Kadiv Keimigrasian Tato Juliadin Hidayawan, dan Kadiv Pelayanan Hukum dan HAM Harniati.

Bertempat di Gedung Konferensi Untan, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Eddy O.S. Hiariej saat memberikan keynote speech dalam kegiatan ini mengatakan, kita sebagai masyarakat Indonesia harus berbangga karena telah memiliki KUHP Nasional.

“KUHP Nasional yang sudah disahkan itu sudah merupakan win-win solution karena kita sadar betul, menyusun KUHP di negara yang multi etnis, multi religi dan multikultural itu sangat tidak mudah. Setiap isu yang kita formulasikan pasti menimbulkan kontrofersi. Dan kontofersi itu secara diameteral,” ujar pria kelahiran Ambon ini.

Lebih lanjut Wamenkumham menyampaikan, visi dan misi KUHP Nasional tidak lagi berorientasi ke hukum pidana klasik, yang menjadikan sebagai sarana balas dendam. Sosialisasi tentang KUHP Nasional wajib dilakukan karena dapat mengubah pola pikir seluruh masyarakat Indonesia dengan mengedepankan keadilan berkeseimbangan, tidak hanya bagi pelaku namun juga bagi korban.

“KUHP Nasional yang disahkan tidak lagi mengedepankan keadilan retributif atau menggunakan hukum pidana sebagai sarana balas dendam. Akan tetapi KUHP Nasional itu telah berorientasi pada hukum pidana modern yang kita sudah tertinggal lebih dari 40 tahun dibanding negara-negara di Eropa atau Amerika (keadilan korektif, keadilan restoratif dan keadilan rehabilitatif),” imbuhnya.

Guru besar Ilmu Hukum Pidana UGM itu menegaskan,” pada keadilan korektif harus ada sanksi. Namun jangan berpikir sanksi itu hanya hukuman penjara. Dalam KUHP Nasional, sanksi itu ada dua, bisa dijatuhi pidana dan bisa dengan tindakan.”

Sementara itu keadilan restoratif ditujukan kepada korban, sebagai kritik hukum yang hanya menjatuhkan pidana kepada pelaku, tanpa harus memperhitungan bagaimana keadaan korban. Maka lahirlah restoratif justice bahwa korban harus dipulihkan.

“Selanjutnya keadilan rehabilitatif ditujukan baik kepada pelaku maupun korban, pelaku tidak hanya dipidana, tetapi juga direhabilitasi. Begitu pula bagi korban, tidak hanya dipulihkan namun diberikan juga rehabilitasi. Inilah adalah visi KUHP Nasional yang berdasarkan paradigma hukum modern, pidana masih merupakan pidana pokok tapi bukan lagi yang utama,” ucap Wamenkumham.

Adapun misi substansi isi dari KUHP Nasional, dijelaskan Wamenkumham adalah Demokratisasi, yang berarti KUHP Nasional tidak mengekang kebebasan pendapat, tidak mengekang kebebasan demokrasi. Bukan pembatasan tapi pengaturan bagaimana cara melakukan kebebasan demokrasi, mengeluarkan pikiran, bereksperesi. Diatur dengan merujuk kepada berbagai keputusan Mahkamah Konstitusi ketika diuji di Mahkamah Konstitusi.

Dekolonisasi, upaya-upaya untuk menghilangkan nuansa kolonial, nuansa dekolonisasi yang terlihat jelas pada buku I KUHP Nasional. Bahwa yang ada dalam buku II KUHP Nasional, adalah universalisme hukum pidana. Hukum pidana memiliki universalisme, bahwa tindakan pidana yang terjadi di negara lain juga dikategorikan sebagai tindak pidana di negara lainnya. Buku I KUHP Pertama justru dekolonisasi.

“Apabila dalam mengadili perkara ada pertentangan hukum antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan,” kata pria yang akrab disapa Prof. Eddy tersebut.

Konsolidasi dalam KUHP Nasional menghimpun kembali kejahatan di luar KUHP untuk dimasukkan ke dalam KUHP Nasional. Rekodifikasi menghimpun berbagai kejahatan di luar KUHP untuk dimasukkan ke dalam KUHP, ada bab tindak pidana khusus, korupsi, terorisme, narkotika, perdagangan orang.

Harmonisasi, penyelasaran sinkronisasi dengan 200 Undang-Undang sektoral di luar Undang-Undang KUHP. Harmonisasi dilakukan untuk mencegah disparitas dalam hukum pidana untuk mencegah bargaining antara pelaku. Dan modernisasi untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman terutama perkembangan teknologi.

Sebelumnya Gubernur Kalbar Sutarmidji menyampaikan apresiasi terhadap Kemenkumham. “Setelah sekian lama kita menggunakan hukum produk belanda, saat ini kita mempunyai hukum produk sendiri yang bersumber dari hukum kita yaitu hukum adat dan hukum Islam,” ujarnya.

Sutarmidji berharap penerapan KUHP Nasional dapat berjalan dengan baik, jika nantinya ada ditemukan kekurangan dapat dilakukan penyempurnaan nantinya.

Rektor Untan Garuda Wiko selaku tuan rumah dalam penyelenggaraan kegiatan ini sangat mengapresiasi Kemenkumham yang menginisiasi Kumham Goes to Campus.

Kegiatan Kumham Goes to Campus ini dirangkaikan dengan sosialisasi RUU Paten Dan Desain Industri dengan narasumber Analis Hukum Madya Retno Kusuma Dewi dan Pemeriksa Desain Industri Madya Rizki Harit Maulana.

Sesi berikutnya dilanjutkan dengan Sosialisasi KUHP Nasional. Kembali Wamenkumham menjadi narasumber didampingi Ketua Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Nasional Yenti Garnasih dan Akademisi Universitas Jember, I Gede Widhiana Suarda. (Foto: Wawan dan IqbaS/Narasi: IqbaS).