Rapat Kerja Komisi IV DPR RI dengan Menteri Kehutanan membahas alih fungsi lahan, kehutanan sosial, dan perlindungan masyarakat adat. Simak analisis kritis Paolus Hadi (PDI-P) dan strategi konkret yang diusulkan.
Jakarta – Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menggelar Rapat Kerja Masa Sidang II bersama Menteri Kehutanan Republik Indonesia Kamis (23/1/2025).
Agenda utama pertemuan ini membahas isu strategis sektor kehutanan, terutama alih fungsi lahan, implementasi program kehutanan sosial, serta perlindungan hak-hak masyarakat adat.
Rapat ini menjadi sorotan publik setelah Anggota Komisi IV DPR RI asal PDI-P Dapil Kalimantan Barat, Paolus Hadi, S.I.P., M.Si., menyampaikan kritik tajam terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai belum optimal menjawab persoalan di lapangan.
Tekanan alih fungsi lahan dan ancaman terhadap kawasan hutan berdasarkan data Kementerian Kehutanan, laju alih fungsi lahan untuk kepentingan non-kehutanan (seperti perkebunan, pertambangan, dan infrastruktur) mencapai 150.000 hektare/tahun pada periode 2020-2024.
Angka ini memicu kekhawatiran akan hilangnya kawasan hutan produktif dan meningkatnya konflik agraria, khususnya di wilayah dengan populasi masyarakat adat tinggi seperti di Pulau Kalimantan, Sumatera, dan Papua.
Program kehutanan sosial yang digadang-gadang sebagai solusi pemberdayaan masyarakat pun menuai kritik.
Hingga 2024, dari target 12,7 juta hektare, realisasinya baru mencapai 65%, dengan kendala utama berupa birokrasi lambat, tumpang tindih regulasi, dan minimnya pendampingan kepada masyarakat.
Poin Kritis dari Paolus Hadi: “Jangan Jadikan Masyarakat Adat Penonton di Tanah Leluhur”.
Sebagai perwakilan Dapil Kalimantan Barat — wilayah dengan 42% tutupan hutan dan rumah bagi puluhan komunitas adat — Paolus Hadi menyoroti tiga isu utama:
Tata Kelola Alih Fungsi Lahan Yang Tidak Transparan
Paolus Hadi menegaskan, izin alih fungsi lahan sering kali diberikan tanpa melibatkan konsultasi publik yang memadai, terutama dengan masyarakat adat.
“Proses ini harus dievaluasi ulang. Jangan sampai keputusan di balik meja mengabaikan suara mereka yang hidupnya bergantung pada hutan,” tegas Paolus Hadi.
Kehutanan Sosial yang Mandek di Level Administrasi
Menurut Paolus Hadi, program kehutanan sosial kerap terjebak dalam dokumen perencanaan.
“Masyarakat sudah diberikan akses pengelolaan hutan, tetapi tidak dibekali kapasitas teknis, seperti pengolahan hasil hutan bukan kayu (HHBK) atau pemasaran. Ini seperti memberi kail tanpa umpan,” ujarnya.
Perlindungan Hukum bagi Masyarakat Adat
Hingga 2025, hanya 15% dari 2.332 komunitas adat yang telah diakui secara hukum.
“Tanpa pengakuan resmi, hak-hak mereka rentan diabaikan dalam proses pembangunan,” kata Paolus Hadi.
Pembahasan di Komisi IV DPR RI ini juga berdampak pada sektor lain:
Investasi Pertambangan dan Perkebunan: Perusahaan diharapkan mengadopsi prinsip ESG (Environmental, Social, Governance) untuk memperoleh izin.
Tiket Pesawat dan Kunjungan Wisata Alam
Peningkatan kualitas ekowisata dapat mendongkrak permintaan tiket pesawat ke destinasi ekologis, seperti Kalimantan dan Papua.
Kebijakan Karbon Global
Pengelolaan hutan yang baik akan memperkuat posisi Indonesia dalam pasar karbon internasional.
Rekomendasi dari Komisi IV DPR RI dalam rapat kerja menghasilkan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah:
- Menyusun peta jalan alih fungsi lahan berbasis kajian lingkungan hidup strategis (KLHS).
- Membentuk satuan tugas khusus untuk pendampingan kehutanan sosial di daerah terpencil.
- Mengalokasikan anggaran khusus untuk sertifikasi produk masyarakat adat.
Kolaborasi sebagai Kunci Keberhasilan
Isu kehutanan tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah saja. Diperlukan sinergi antara pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat adat untuk menciptakan pembangunan inklusif.
Seperti disampaikan Paolus Hadi: “Hutan adalah warisan nenek moyang. Mari kelola dengan hati, bukan hanya dengan kalkulator.” ***