PONTIANAK, Infokalbar.com – Di tanah Borneo yang kaya akan emas hitam dan hutan tropis, ternyata ada komoditas lain yang lebih laris: berita pesanan.
Seorang pengusaha lokal baru saja menemukan fakta pahit bahwa reputasinya bisa dihargai—Rp5 miliar tunai, tidak boleh kredit.
Permintaan itu bukan dari debt collector, melainkan dari oknum yang mengaku jurnalis. Jika tak dibayar, ancamannya jelas: “Kami akan gandeng media lain, beritanya lebih brutal!”
Ah, alangkah mulianya profesi ini—dari penjaga demokrasi jadi tukang tagih dengan byline.
Tuan Wartawan, Ini Bukan Transaksi Bawang Goreng!
Dalam rekaman suara yang bocor, sang pengusaha terdengar bingung:
“Saya harus pinjam ke bank untuk bayar Anda? Apa ini bukan pemerasan, tapi pre-order berita baik?”
Oknum wartawan tak gentar. “Ini kompensasi operasional 5 tahun,” katanya, seolah menjual paket langganan Netflix. “Rp5 miliar diskon jadi Rp2 miliar, tapi cash ya!”
Si pengusaha hanya bisa geleng-geleng. “Saya jualan legal, modal dari bank, kok dibilang ilegal? Apa wartawan sekarang sudah jadi kepolisian plus PPATK?”
Hak Jawab? Oh, Itu Barang Antik Sudah Punah
Ketika sang pengusaha mencoba membela diri via Hak Jawab, nasibnya mirip surat cinta yang dikirim ke mantan: dibaca? Tidak. Dibalas? Jangan mimpi.
Materi dikirim via WhatsApp—read, tapi no reply. Dikirim via pos—dikembalikan, alamat “tidak dikenal”.
Terakhir, dikirim langsung ke rumah oknum—”Surat siapa ini? Bukan untuk saya!”
Padahal, UU Pers Nomor 40/1999 jelas mengatur Hak Jawab. Tapi, rupanya aturan itu sekadar hiasan di website, seperti tulisan “Kami Peduli Pelanggan” di call center yang sibuk.
Proposal Festival vs Fitnah, Dua Sisi Koin Sama
Ironi semakin kental ketika sang oknum wartawan ternyata pernah mengirim proposal “Gebyar Meriam Karbit 2025” ke korban. “Biar meriahkan Idul Fitri,” katanya.
Tapi karena sang pengusaha sedang di luar negeri, proposal itu menguap. Dan sebagai reward-nya? Deretan berita negatif yang lebih panjang dari antrian BBM subsidi.
“Kalau tak bisa jadi sponsor, jadilah headline,” mungkin begitu mottonya.
Dewan Pers vs Hukum Pidana, Siapa Lebih Galak?
Syamsudin Hermawan, praktisi media, angkat bicara. “Ini bukan lagi soal Hak Jawab, tapi pemerasan berkedok jurnalisme.”
Dewan Pers bisa saja turun tangan, tapi jika sudah ada bukti transaksi Rp5 miliar, kasus ini lebih pantas diajukan ke polisi ketimbang ke organisasi profesi.
“Pers jangan jadi ajang pemerasan,” tegasnya. “Nanti investor lari, Kalbar cuma jadi kenangan dalam cerita dongeng ‘Di Sini Pernah Kaya’.”
Jurnalis Atau Penagih Utang? Pilih Salah Satu!
Jika ada pelajaran dari kisah ini: Jurnalis sejati tak menjual berita, apalagi reputasi orang.
Rp5 miliar itu cukup buat bangun sekolah jurnalistik, bukan untuk beli kebohongan. Kalau mau jadi debt collector, lebih baik daftar di fintech—gajinya lebih jelas.
Dan untuk sang oknum wartawan? Semoga tiketnya ke penjara diskon 50%. (Petir)