JAKARTA, Infokalbar.com – Di atas panggung bernama Persatuan Wartawan Indonesia, lakon besar sedang dimainkan.
Bukan sekadar satire dunia tinta dan pena, tapi drama kekuasaan yang menggelegak seperti ceret tua yang lupa dimatikan apinya.
Asapnya menyusup ke ruang redaksi, ke rapat-rapat redaksi pagi, hingga grup WhatsApp wartawan-wartawan daerah.
Semua bicara soal satu hal: siapa yang sahih di kursi Ketua Umum PWI?
Tokoh pertama: Zulmansyah Sekedang. Datang dengan jubah konstitusi dan suara pengurus pusat.
Tokoh kedua: Hendry Ch Bangun, yang bersikukuh bahwa kursi belum kosong, bahwa suara “saya masih sah” lebih keras dari putusan etika.
Dan beginilah lakonnya bermula.
Bukan Sekadar Cerita Cash Back
“Kasusnya dimulai dari cashback dana UKW.” Suara Zulmansyah terdengar datar, nyaris seperti membaca berita kriminal di segmen tengah acara.
Tapi kata-katanya penuh bara. Di hadapannya bukan hanya lawan narasi, tapi fragmen kepercayaan yang pelan-pelan luruh.
Menurutnya, pemecatan Hendry Ch Bangun—yang akrab disebut HCB—bukan isapan jempol.
Bukan pula dendam politis. Tapi hasil dari tiga mata hukum internal: Dewan Kehormatan PWI, PWI DKI Jakarta tempat HCB bernaung sebagai anggota, dan Kongres Luar Biasa yang mengukuhkan pemecatan total.
“Kalau sudah bukan anggota PWI, bagaimana bisa mengklaim tetap sebagai Ketua Umum?” tanya Zulmansyah. Tanyanya lirih, tapi penuh nada jengah.
Dua Kubu, Satu Lambang, Banyak Bingung
Sejak pemecatan itu, bentangan waktu terasa seperti gelombang panas. Di satu sisi, HCB mengibarkan panji “saya sah” dan tetap tampil di depan publik sebagai Ketum.
Di sisi lain, Zulmansyah mengingatkan bahwa kertas hukum dan etika sudah menutup lembaran masa jabatan HCB.
Bahkan, Kemenkumham pun mencatat versi HCB tak lagi berlaku. Dewan Pers pun angkat bicara: “Jangan lagi gunakan fasilitas organisasi.” Tapi suara-suara bersilang masih bergema.
Terjadi perpecahan. PWI terbelah seperti cerita pewayangan. Bukan lagi satu wayang, satu dalang, tapi dua lakon dengan panggung masing-masing.
Mediasi Bernama Jakarta, Janji Bernama Kongres
Dalam percakapan sunyi yang difasilitasi Dewan Pers, dua kubu akhirnya saling tatap.
Tangan dijabat. Kata “kosong-kosong” menjadi mantra damai. Mereka sepakat: Kongres harus digelar. Bukan hanya sebagai ajang pemilihan, tapi sebagai pemurnian kembali ruh PWI.
Tapi dunia tak selalu linear. Belum genap tinta kering di surat kesepakatan, HCB muncul di Indramayu dengan pernyataan baru: dirinya yang paling sah, paling legal.
Sebuah manuver yang membuat dahi Zulmansyah mengernyit seperti halaman terakhir novel misteri.
“Ini menyedihkan. Ini melecehkan semangat rekonsiliasi,” kata Zulmansyah.
Tangannya mengepal, suaranya tak lagi mendayu. Seruan pun dilontarkan: percepat saja Kongres. Juli lebih baik dari Agustus.
PWI: Bukan Milik Segelintir, Tapi Semua Pewarta
Organisasi wartawan adalah milik para pengabdi kebenaran, bukan alat legitimasi pribadi.
Tapi hari ini, di banyak warung kopi media, semua seolah lupa. Lambang PWI dicetak dua kali. Stempel organisasi digunakan satu pihak, lalu digugat oleh pihak lain.
Ironi menjadi hiasan harian. Di tengah kekacauan ini, pengurus pusat ingin satu hal: edukasi.
Bukan hanya pada masyarakat, tapi juga pada wartawan itu sendiri. Bahwa organisasi punya landasan, bukan hanya SK Kemenkumham. Bahwa etika bukan kosmetik, tapi pondasi.
Putusan sela bukan akhir. Dan SK legal tak berarti moralnya benar. Begitulah pesan Zulmansyah. Suara lirih di tengah teriakan.
Kronologi Pecahnya Cermin Bernama Etika
Mari kita cermati serpihan fakta yang berserakan di antara puing-puing narasi:
- Pemecatan HCB: Tiga Pilar Hukum Organisasi
- Dewan Kehormatan PWI Pusat: Vonis pelanggaran etika.
- PWI DKI Jakarta: Resmi memberhentikan sebagai anggota.
- KLB PWI: Legitimasi tertinggi organisasi untuk pemecatan total.
Pelanggaran Etik HCB:
- Pengakuan menerima dan memberi “cashback” dari dana FH BUMN.
- Menolak keputusan DK, bahkan memecat DK lalu membentuk DK tandingan.
- Tetap mengklaim diri sebagai Ketum dengan membawa simbol organisasi.
Status Administratif:
- Kemenkumham tak lagi mengakui HCB.
- Dewan Pers melarang penggunaan fasilitas organisasi atas nama HCB.
Kongres Sebagai Obat Penawar Luka
Saat ini, Kongres Persatuan PWI telah disepakati. Steering Committee dan Organizing Committee sudah terbentuk.
Targetnya: akhir Agustus 2025. Tapi dengan gejolak narasi yang terus menyala, desakan untuk mempercepat Kongres kian kuat.
“Kalau bisa Juli, kenapa harus Agustus?” tanya Zulmansyah. Retorikanya menusuk, bukan untuk menyindir, tapi menampar kesadaran yang tertidur.
Kongres bukan sekadar pemilihan. Ia adalah penjernih. Ia adalah air bening di antara lumpur pekat narasi.
Edukasi untuk Para Pewarta: Bukan Sekadar Cetak dan Kirim
Zulmansyah lalu menyisipkan pesan yang tak boleh dilupakan. Pesan untuk rekan-rekan pewarta yang kerap hanya membaca judul, lalu ikut menggiring wacana.
Bahwa wartawan juga harus paham perbedaan antara:
- Administratif: Dokumen, SK, legalitas di atas kertas.
- Etik: Perilaku, integritas, dan nilai moral.
- Konstitusi Organisasi: Aturan main dalam rumah besar bernama PWI.
“Jangan mudah percaya pada satu potong narasi,” katanya. Sebab potongan narasi bisa menjelma propaganda. Dan propaganda bisa memecah belah.
Ingat Bro! PWI Bukan Milik Segelintir
PWI, dalam nyawa sesungguhnya, bukan ruang eksklusif. Ia rumah besar bagi wartawan dari Sabang sampai Merauke.
Tapi hari ini, rumah itu retak karena ego. Karena merasa paling benar. Karena merasa paling sah.
“Kita harus kembali ke jalan damai, ke jalan organisasi,” kata Zulmansyah dalam nada lembut, tapi mantap.
Kongres adalah panggilan akal sehat. Jika tak segera dilaksanakan, organisasi bisa terlanjur menjadi panggung penuh ilusi. Seperti opera sabun yang tak kunjung tamat.
Zulmansyah menutup pernyataannya dengan harap, “Mari jaga marwah. Mari jaga profesionalisme. PWI adalah kita semua.” Dan di luar ruangan, langit mulai berubah kelabu. (M.Tasya)