KABUPATEN SANGGAU MEMBAKAR DOSA: Pemusnahan Bukti, Penegakan Nurani

Kepala Kejaksaan Negeri Sanggau, Dedy Irwan Virantama, berdiri tegas. Tapi matanya tak dingin. Mulutnya komat kamit.
Kepala Kejaksaan Negeri Sanggau, Dedy Irwan Virantama, berdiri tegas. Tapi matanya tak dingin. Mulutnya komat kamit.

SANGGAU, Infokalbar.com – Langit Sanggau tak kelabu. Tapi di halaman Kantor Kejaksaan Negeri, Kamis pagi itu 19 Juni 2025 aroma arang keadilan menari di udara.

Sebuah tungku besar menyala. Bukan untuk membakar dendam, bukan pula dendang. Tapi untuk mengubur jejak kejahatan telah disidangkan.

Di balik api yang menjilat-jilat itu, ada cerita. Cerita tentang 73 perkara. Cerita tentang luka, tentang jatuh, tentang dosa manusia yang kini dijadikan debu.

Dalam iring-iringan penuh makna, hadir mereka yang memikul beban negeri. Sekda Kabupaten Sanggau, Aswin Khatib, berjalan pelan.

Juga ada Letnan Kolonel Infanteri Subandi dari Dandim 1204 pun turut menyimak dengan wajah serius.

Serta ada juga Iptu Eko Aprianto dari Sat Narkoba, hakim Wakibosri Sihombing, perwakilan Rutan, BPOM, BNN, LBH, hingga insan pers yang mencatat semuanya di balik lensa dan pena.

Hari itu bukan panggung seremoni biasa. Ini altar moral. Tempat negara, hukum, dan hati nurani bertemu dalam satu nyala yang sama: membakar sisa-sisa kebengisan.

Barang Bukti Itu Saksi Diam, Tapi Tajam

Tumpukan barang bukti itu tidak berbicara. Tapi jika bisa, barangkali mereka akan menangis.

Ada narkotika dari 33 perkara. Putih, pekat, mematikan. Ada pula harta curian dari 17 kasus pencurian—jejak tangan lapar yang tak tahu lagi cara meminta.

Sembilan perkara perlindungan anak dan kejahatan seksual menyumbang bukti berupa pakaian kecil, mainan, dan air mata yang tak bisa dimusnahkan.

Tujuh kasus perjudian pun tak ketinggalan, membawa kartu remi dan mesin keberuntungan yang berakhir di tangan jaksa.

Lalu ada satu-satu, yang berdiri sendiri tapi menggema besar: pelanggaran UU ITE, konservasi alam, peredaran obat ilegal.

Juga ada BBM bersubsidi yang disalahgunakan, pelanggaran cukai, gangguan ketertiban, dan pekerja migran ilegal. Mereka hanya satu, tapi menyimpan berjuta ironi.

Barang-barang itu telah menjadi sunyi. Tapi pemusnahan hari itu adalah suara paling nyaring bahwa hukum tak tinggal diam.

Dedy dan Api Tak Pernah Padam

Kepala Kejaksaan Negeri Sanggau, Dedy Irwan Virantama, berdiri tegas. Tapi matanya tak dingin. Mulutnya komat kamit.

Ia tidak sedang membaca naskah, tapi bicara dari dada—tempat di mana hukum bersinggungan dengan hati.

“Ini bukan seremoni. Ini adalah pesan. Bahwa hukum bukan pajangan, tapi pelindung,” ucapnya.

Kalimat itu jatuh di antara kursi-kursi Forkopimda, dan mengendap dalam dada para jurnalis di Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat.

Dedy bukan sekadar jaksa. Dia pemungut reruntuhan moral yang pernah ditinggalkan oleh para pelaku.

Dia membakar bukan karena benci, tapi karena cinta pada keadilan. “Kami hadir dengan integritas. Dan kami ingin rakyat tahu: negara ada untuk mereka” .

Pemusnahan itu, katanya, bukan akhir. Tapi babak baru. Sebuah babak di mana hukum bukan sekadar pasal-pasal mati, melainkan detak kehidupan sebuah bangsa ingin berdiri dengan kepala tegak.

Ketika Hukum Tak Lagi Berjalan Sendiri

Yang hadir hari itu bukan hanya Kejaksaan. Tapi juga militer, polisi, hakim, Rutan, BNN, Dinas Kesehatan, hingga LBH Justitia Populi.

Apa yang mereka bicarakan dalam tatapan-tatapan pagi itu mungkin tak tertulis. Tapi jelas terasa: penegakan hukum tidak bisa lagi sendiri-sendiri.

“Penegakan hukum adalah tanggung jawab kolektif,” ujar Dedy lagi di ujung kegiatan.

Dan memang, hari itu adalah bukti. Bukti bahwa negara tidak bisa hanya mengandalkan satu tangan.

Perlu sepuluh, seratus, bahkan ribuan—asal semua tangan itu bergerak dalam arah yang sama: keadilan.

Kala Asap Membawa Harap Cemas

Tungku besar mulai mendingin. Asap naik tinggi ke langit Sanggau, meninggalkan aroma bensin terbakar dan plastik meleleh. Tapi di dalamnya ada sesuatu yang lebih dalam: rasa lega.

Bagi sebagian, pemusnahan ini adalah pertanda berakhirnya satu kasus. Tapi bagi warga Sanggau, ini pertanda bahwa hukum masih hidup.

Masih ada yang menjaga. Masih ada yang membakar, bukan untuk menyakiti, tapi untuk menyehatkan.

Anak-anak kecil yang melihat dari pagar luar kantor kejaksaan mungkin belum paham apa yang terjadi.

Tapi mereka menyaksikan: ketika negara turun tangan, yang salah akan dibakar, dan yang benar akan dijaga.

Sebuah Halaman Sejarah

Sanggau hari itu menuliskan satu paragraf penting dalam bukunya yang panjang. Bukan tentang kekuasaan, bukan tentang jabatan, tapi tentang nyali—untuk menegakkan hukum di tengah rayuan kekacauan.

Mereka tidak membakar barang bukti. Mereka membakar pesan: bahwa keadilan, betapapun lelah, tidak akan pernah menyerah.

Dan ketika malam tiba, mungkin langit masih mengingat aroma pagi itu. Aroma nyala yang tak hanya membakar benda.

Akan tetapi, juga menyala di dada setiap orang yang percaya: hukum bisa indah, jika dijalankan dengan cinta. (Wawan Daly Suwandi)