Mempawah, info-kalbar.com – Menyusul mosi tak percaya yang dilakukan sebagian besar fraksi di DPRD Kabupaten Mempawah dengan menyegel 5 ruang utama, pada Kamis (22/01/2021), menyebabkan fungsi-fungsi legislasi di lembaga tersebut menjadi terganggu.
Namun begitu, langkah ini dinilai lebih baik oleh Ketua Fraksi Partai Nasdem, H Anwar, ketimbang tidak adanya perubahan sama sekali yang ditunjukkan oleh Ria Mulyadi selaku Ketua DPRD Kabupaten Mempawah.
“Kami hanya mau menunjukkan kepada ketua, bahwa benar-benar kami mau menunjukkan solidaritas kami untuk lembaga, kita sayang dengan lembaga ini, jangan sampai nanti dia sewenang-wenang dengan lembaga ini dan selamanya begitu, ini jabatan kita masih 4 tahun,” katanya.
“Ini pembelajaran buat dua, saya ini pun makhluk tak sempurna, banyak juga kekurangannya, cuman kalau tidak ada dimotori gerakan seperti ini, begini terus lah lembaga kita. Tidak apa-apa saya yang motori, dia mau benci dengan saya tidak apa-apa, tujuan saya adalah untuk kebaikan lembaga ini, supaya betul-betul lembaga ini berfungsi,” ujarnya.
Anwar menuding, akibat perilaku yang centang perenang sang ketua, menyebabkan belum ada satupun program kerja tahunan yang sah untuk dapat dilaksanakan hingga saat ini. Untuk itu sejumlah fraksi pun menyarankan agar Ria Mulyadi undur diri saja.
“Mosi tak percaya dengan ketua artinya anggota sudah tak percaya dengan dia, dengan kejadian ini terserah dia, mau undur diri dengan suka rela, Alhamdulillah,” katanya
Kalaupun Ria Mulyadi tidak mau berkenan undur diri, maka dia berharap harus ada perubahan mendasar di tubuh legislatif Mempawah.
“Kalau mau jadi ketua kau ubah sikap kau, rangkul semuanya. Keputusan jangan diambil seorang, setidaknya kan disini pimpinan ada tiga orang, kalau dia mau ambil keputusan, minimal dua pimpinan ini dimintai pendapat. Kadang tidak, dia langsung ke Sekwan, dari Sekwan baru ke pimpinan lain, padahal pimpinan itu kolektif kolegial. Contoh lagi kemarin, gagal kami rapat itu, dia tak mau pimpin, tapi tidak juga mau mendelegasikan ke salah-satu wakil ketua, anggota yang dikorbankan,” katanya.
Anwar kembali menekankan bahwa persoalan ini tidak bisa dianggap enteng, lantaran belum adanya program kerja yang disusun, maka persoalan yang sudah banyak selama ini akan terus menumpuk, dan lucunya awak dewan pun menjadi menganggur, dan terlihat seolah tak berguna.
“Kami anggap apa mau dibuat di dewan ni, datang, duduk, kongkow-kongkow, diam, ‘balek’, kan buang-buang waktu. Coba kita pada minggu pertama kemarin, atau minggu kedua setidaknya ketuk itu program kerja, sehingga komisi-komisi bisa bekerja,” sesalnya.
Menurutnya, program kerja tahunan, seperti rapat-rapat, penyusunan Perda-perda dan program-program wajib lainnya sesuai amanat UU harusnya sudah menjadi prioritas, sebagai dasar kepada para anggota dewan untuk bertugas.
“Jadi setiap awal tahun itu harus disahkan diparipurnakan, baru kami dewan ini bisa bekerja, kalau sekarang tidak bisa kami bekerja, (misalnyal biarkan ketua komisi ini mengadakan rapat, itu tidak sah tanpa ada pengesahan jadwal tahunan (terlebih dahulu), karena ini lah pintu masuk kami kerja untuk setahun ini,” ujarnya.
Seharusnya, lanjut Anwar, Ria Mulyadi menyadari bahwa di belakang masing-masing anggota dewan ini, tolal 35 orang, terdapat sekitar seribu sampai dua ribu orang (konstituen) yang harus diwakili. Alhasil, dengan kondisi saat ini, aspirasi mereka menjadi sulit terserap.
“Banyak aspirasi di dewan ini, tapi tidak ada tindak-lanjutnya, contoh nelayan korban Pelindo untuk pesisir, beberapa kali mereka datang kesini, kemudian guru-guru honorer, sempat kita ambil tindakan, memberikan masukan, meskipun nanti keputusannya ada di eksekutif, artinya fungsikan komisi-komisi dan alat kelengkapan dewan lainnya itu,” katanya.
“Jadi bagaimana kita mau pertanggungjawabkan ini ke konstituen, selama ini program los-los begitu saja, kita tidak bisa berbuat, mau mengundang tak ada dasarnya, kan harus melalui program kerja tahunan dulu,” jelasnya lagi. (FikA)