Ancoore Hendry Chairudin Bangun Masih Koar-Koar Ngaku PWI Padahal Sudah Dipecat

Bekas Ketua Umum PWI Hendry Chairudin Bangun dipecat akibat skandal korupsi dana UKW Rp6 miliar. Simak fakta lengkap kasus ini, termasuk manipulasi dokumen AHU, upaya penipuan HPN 2025, dan tanggapan resmi PWI Pusat.

Foto: Hendry Chairudin Bangun (Instagram @hendrychbangun)

Jakarta, Infokalbar.com – Dunia pers di Indonesia kembali diguncang oleh skandal korupsi yang melibatkan salah satu tokoh senior di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Hendry Chairudin Bangun, eks Ketua Umum PWI Pusat, resmi dipecat dari organisasi jurnalis tertua dan terbesar di Tanah Air.

Keputusan ini diambil setelah ia terlibat dalam kasus penyelewengan dana Ujian Kompetensi Wartawan (UKW) senilai Rp 6 miliar yang bersumber dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Modus operandi yang digunakan adalah skema cashback, di mana uang organisasi diduga dimanfaatkan seolah-olah diminta oleh pihak BUMN.

Kasus ini tidak hanya mencoreng nama baik PWI tetapi juga menjadi pengingat akan pentingnya integritas dan profesionalisme dalam dunia jurnalistik.
Berikut adalah rangkuman lengkap peristiwa ini, termasuk kronologi pemecatan, argumen hukum yang mendukung keputusan tersebut, serta dampaknya terhadap publik dan mitra organisasi.

Kronologi Pemecatan Hendry Chairudin Bangun

Proses pemecatan Hendry Chairudin Bangun berlangsung secara bertahap melalui tiga lapis struktur organisasi PWI, menunjukkan bahwa keputusan ini bukanlah hasil keputusan sembarangan atau tanpa dasar legalitas yang kuat.

Keputusan Dewan Kehormatan PWI Pusat

Dewan Kehormatan PWI Pusat, yang dipimpin oleh Sasongko Tedjo, menjatuhkan sanksi pemecatan kepada Hendry atas pelanggaran serius kode etik organisasi.
Sasongko Tedjo sendiri merupakan Ketua Dewan Kehormatan yang sah, dengan nama tercantum dalam Akta Administrasi Hukum Umum (AHU), sehingga memiliki kewenangan penuh untuk memutuskan nasib Hendry.

Keputusan pemecatan ini kemudian diperkuat oleh Pengurus PWI Provinsi DKI Jakarta melalui proses berita acara. Hal ini penting karena Hendry sebelumnya tercatat sebagai anggota PWI dari wilayah DKI Jakarta. Proses administratif ini menegaskan bahwa pemecatan memiliki dasar legalitas yang tidak dapat digugat.

Puncaknya, pada Kongres Luar Biasa (KLB) PWI, semua tindakan Hendry setelah dipecat dinyatakan ilegal dan tidak sah. Wina Armada Sukardi, Sekretaris Jenderal PWI Pusat, menegaskan bahwa pemecatan ini dilakukan secara transparan, terukur, dan berdasarkan fakta yang tidak terbantahkan.

Hendry Chairudin Bangun sempat berkilah dengan alasan bahwa keputusan Dewan Kehormatan tidak sah karena sekretaris Dewan Kehormatan telah diberhentikan lebih dahulu. Namun, argumen ini dibantah keras oleh Wina Armada dengan tiga poin kuat:

Keputusan Sidang Pleno, Bukan Individu

Pemecatan Hendry diambil dalam sidang pleno Dewan Kehormatan, bukan keputusan individu atau pribadi sekretaris Dewan Kehormatan. Oleh karena itu, alasan Hendry tidak relevan.

Sebagai anggota maupun ketua umum, Hendry tidak memiliki otoritas untuk memberhentikan anggota Dewan Kehormatan.

“Itu ibarat kopral memerintah jenderal,” kata Wina, yang juga merupakan ahli hukum pers dan etika.

Klaim Hendry tentang persetujuan rapat pleno diperluas untuk memberhentikan sekretaris Dewan Kehormatan juga tidak memiliki dasar. Faktanya, rapat pleno tersebut sama sekali tidak mengeluarkan keputusan apa pun terkait pemberhentian sekretaris Dewan Kehormatan.

Manipulasi Dokumen AHU dan Citra Palsu sebagai Ketua Umum PWI

Selain masalah internal organisasi, Hendry juga diketahui menggunakan dokumen AHU yang telah dibekukan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) untuk mencitrakan dirinya sebagai ketua umum PWI yang sah.
Dokumen AHU hasil pleno diperluas tanggal 9 Juli 2024 ternyata telah diblokir pada 16 Juli 2024. Manipulasi ini digunakan Hendry untuk meyakinkan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan agar menjadi tuan rumah Hari Pers Nasional (HPN) 2025.

Dalam upayanya, Hendry bahkan mencatut nama Presiden Prabowo, sejumlah menteri, dan Ketua MPR RI untuk mendukung acara tersebut. Namun, faktanya berbanding terbalik.

Gubernur Kalimantan Selatan sendiri tidak hadir dalam peringatan HPN pada 9 Februari di Banjarmasin. “Jadi, bagi para mitra, mohon berhati-hati agar tidak menjadi korban bualan mengenai AHU,” tegas Wina.

Refleksi dan Harapan Untuk Dunia Pers

Sebagai rekan satu angkatan dalam karier jurnalistik, Wina Armada mengungkapkan bahwa ia dan Hendry pernah bersama-sama meniti pelatihan pers di Surat Kabar Kampus UI “Salemba” pada tahun 1979. Namun, ada perbedaan nasib; Wina berhasil lulus, sedangkan Hendry tidak lulus alias DO (Drop Out ).

Di tengah perjalanan karier mereka, perbedaan pendapat kerap terjadi, termasuk saat Hendry memaki Wina di media sosial dengan menyebutnya “nama kesohor tapi otak bego.” Wina memilih tidak menanggapi komentar tersebut karena yakin publik dapat menilai mana yang benar.

Sebagai sesama wartawan senior, Wina berharap Hendry bisa legowo dan melakukan introspeksi diri. Ia mengimbau Hendry untuk tidak dikuasai oleh nafsu angkara murka.

“Bagaimana pun, kita tidak mengharap dia mendapat stroke apalagi gangguan jiwa. Sebaliknya, dia tetap waras,” kata Wina.

Pentingnya Kewaspadaan Publik Terhadap Hendry Chairudin Bangun

Kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya kewaspadaan publik terhadap individu-individu yang mencoba memanfaatkan nama besar organisasi untuk kepentingan pribadi.

Hendry Chairudin Bangun, yang kini bukan lagi anggota PWI, harus dipahami oleh masyarakat sebagai pihak yang telah melanggar aturan organisasi dan etika jurnalistik.

Keputusan pemecatannya melalui tiga lapis struktur organisasi menunjukkan bahwa proses ini dilakukan secara transparan, terukur, dan berdasarkan fakta.

Publik diminta untuk tidak mudah percaya pada klaim-klaim yang tidak berdasar, terutama terkait status keanggotaan dan legitimasi organisasi.

Sebagai konsumen informasi, kita harus kritis dan cerdas dalam memilah kebenaran dari berbagai narasi yang berkembang.

Mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kalimantan Barat dua periode, Sidik Pramono, menyerukan penyelamatan organisasi tertua dan terbesar di Indonesia tersebut dari perilaku oknum Ketua Umum PWI Pusat yang dinilai menyimpang.

Menurutnya, Hendry Chairudin Bangun, yang telah dipecat karena kasus korupsi, seharusnya malu masih mengatasnamakan diri sebagai bagian dari PWI. Korupsi adalah musuh bersama masyarakat dan wartawan.

Sidik juga menyoroti pentingnya pengembalian hak-hak wartawan senior PWI yang selama ini merasa dizolimi oleh kebijakan tidak adil dari oknum pengurus pusat.

Sementara itu, mantan Sekretaris PWI Kalbar, Zainul Irwansyah, mendukung penunjukan Wawan Daly Suwandi sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua PWI Kalbar.
Menurutnya, Wawan merupakan figur senior yang berpengalaman dalam dunia jurnalistik dan organisasi, serta memiliki loyalitas tinggi.

Polemik ini menjadi sorotan penting untuk memperbaiki tata kelola organisasi pers di Indonesia agar lebih profesional dan transparan. ***