Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sebagai solusi ekonomi berkelanjutan yang memberdayakan masyarakat lokal. Temukan manfaat WPR bagi perekonomian nasional, kesejahteraan pekerja, dan strategi pengelolaan berbasis lingkungan.
PONTIANAK, Infokalbar.com – Indonesia, negara kepulauan dengan kekayaan sumber daya alam melimpah, tengah menghadapi dilema antara eksploitasi pertambangan besar dan pemberdayaan ekonomi rakyat.
Di tengah tekanan global akan transisi energi dan keberlanjutan, Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) muncul sebagai alternatif strategis.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2023, WPR didefinisikan sebagai kawasan tambang skala kecil yang dikelola oleh koperasi atau badan usaha milik daerah dengan partisipasi aktif masyarakat.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan, sektor pertambangan rakyat berkontribusi 12% dari total produksi emas nasional pada 2023.
Jika dikelola optimal, WPR berpotensi meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) hingga Rp18 triliun per tahun, sekaligus mengurangi pengangguran di 214 kabupaten/kota yang memiliki cadangan mineral strategis.
Namun, tantangan utama tetap ada: bagaimana memastikan eksploitasi tidak merusak lingkungan.
Inovasi teknologi seperti penggunaan biometalurgi dan pengolahan limbah berbasis mikroba mulai diterapkan. Hasilnya? Penurunan pencemaran air tanah hingga 60% dan peningkatan efisiensi pengolahan emas menjadi 85%.
Dari Masyarakat untuk Masyarakat: Kontribusi WPR pada Perekonomian Lokal
Di balik angka-angka statistik, WPR menyimpan kisah nyata transformasi ekonomi.
Di Kalimantan Barat, kehadiran WPR selama lima tahun terakhir mengubah wajah desa tertinggal menjadi pusat pertumbuhan ekonomi.
“Dulu, 70% warga bekerja sebagai buruh tani dengan penghasilan Rp1,5 juta/bulan. Kini, 40% penduduk terlibat dalam aktivitas tambang rakyat dengan penghasilan rata-rata Rp6 juta/bulan,” tutur Arifinanano.
Multiplier effect terlihat jelas. Pedagang sayur, tukang ojek, hingga pelaku UMKM pengolahan makanan mengalami peningkatan omzet hingga 300%.
Pemerintah daerah juga mengalokasikan dana CSR dari WPR untuk membangun 12 sekolah dasar dan 5 puskesmas.
Namun, ekspansi WPR harus diiringi edukasi. Program pelatihan manajemen keuangan juga penting demi meningkatkan literasi finansial penambang rakyat dari 28% menjadi 67% dalam dua tahun.
Pentingnya Regulasi dan Kolaborasi Dalam Mengoptimalkan Potensi WPR
Keberhasilan WPR tidak lepas dari tata kelola yang transparan. Pemerintah melalui UU No. 4 Tahun 2023 telah menetapkan batas maksimal luas WPR sebesar 2.000 hektare per kawasan, dengan kewajiban pemegang izin untuk menyisihkan 5% laba bagi program lingkungan dan sosial.
Kolaborasi lintas sektor menjadi kunci. Meningkatkan kapasitas produksi emas dari 1,2 ton/tahun menjadi 3,5 ton/tahun melalui transfer teknologi pemisahan logam tanpa merkuri.
Namun, tantangan regulasi masih ada. Masih banyak daerah yang lambat menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang mengakomodasi WPR. Misalnya, izin operasional baru dikeluarkan untuk 12 dari 56 aplikasi yang masuk karena proses verifikasi yang kompleks.
Menepis Stigma Negatif: Profesi Penambang Rakyat Sebagai Sumber Penghidupan Sah
Selama ini, penambang rakyat sering dikaitkan dengan ilegalitas dan kerusakan lingkungan. Padahal, data Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) menyebut hanya 18% dari 3.000 WPR yang beroperasi secara ilegal.
Mayoritas telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan komitmen menjaga kelestarian ekosistem.
Sosok seperti dialami Suryadiuik, penambang emas di Kalimantan Barat, membuktikan bahwa profesi ini bisa sejahtera.
Dengan menggunakan alat modern, ia mampu memproduksi 20 gram emas/hari, cukup untuk membiayai pendidikan dua anaknya di perguruan tinggi. “Kami bukan perusak hutan, tapi pejuang ekonomi keluarga,” ujarnya.
Untuk melindungi hak pekerja, pemerintah juga mengeluarkan Permenaker No. 15 Tahun 2023 tentang Keselamatan Kerja di WPR.
Regulasi ini mewajibkan pemilik usaha menyediakan alat pelindung diri (APD), asuransi kesehatan, dan program pelatihan keselamatan kerja minimal 16 jam/tahun.
Menuju Masa Depan Emas
Dengan cadangan emas sebesar 105 juta ton dan nikel 3,2 miliar ton, Indonesia berpotensi menjadi raksasa tambang hijau.
WPR diproyeksikan menyumbang 25% dari target devisa ekspor mineral sebesar $20 miliar pada 2028.
Langkah strategis sudah dimulai. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tengah mengembangkan teknologi pemrosesan bijih nikel laterit menjadi baterai lithium-ion, yang akan diterapkan di WPR Sulawesi Tengah.
Ini sejalan dengan visi Indonesia sebagai hub manufaktur kendaraan listrik global.
Namun, tantangan terbesar adalah memastikan distribusi keuntungan merata. Program “WPR Goes Digital” oleh Kementerian Kominfo telah membantu 500 koperasi tambang mengakses pasar global melalui platform e-commerce B2B.
Di tengah gempuran krisis ekonomi global, WPR hadir sebagai benteng ketahanan ekonomi lokal.
Dengan dukungan regulasi yang progresif, inovasi teknologi, dan komitmen menjaga keberlanjutan, Indonesia bisa menulis babak baru sejarah: pertambangan yang mengabdi untuk kesejahteraan rakyat. (ARP)