PONTIANAK, Infokalbar.com – Jika ada kontes “Musyawarah Daerah Paling Absurd”, mungkin Musda XVI HIPMI Kalbar layak jadi juara.
Bayangkan: palu sidang diketok di kamar Hotel Aston Kota Pontianak itu bukan di ruang rapat resmi.
Lalu, Ridho Adyt Setiawan “terpilih” sebagai Ketua Umum BPD HIPMI Kalbar 2025–2028—seolah-olah prosesnya semulus mentega di atas wajan panas.
Padahal, di belakang layar, ada aroma “konspirasi” yang lebih tajam dari bau keringat peserta musda.
Faktanya? Ini bukan sekadar “pemilihan”, tapi panggung wayang di mana dalangnya mungkin sedang tertawa lebar di balik tirai.
Setting Panggung di Kamar Hotel, Bukan Ruang Sidang
“Musda Instan”: Dari Paskhas ke Aston, Tradisi Baru HIPMI?
Awalnya, Musda digelar di Lanud Supadio—markas Kopasgat (dulu Paskhas), pasukan elit TNI AU.
Tapi entah mengapa, klimaksnya justru di kamar hotel. Bukan di ballroom megah, tapi di ruang yang mungkin lebih sempit dari garasi mobil.
Pertanyaan kritis: Apa alasan legitimate memindahkan sidang ke kamar hotel?
Fakta menohok: Gulam Mohamad Sharon (mantan Ketua HIPMI Kalbar 2022–2025 dan anggota DPR RI) hadir di situ. Coincidence? We think not.
Ketukan Palu Febriadi: Suara yang Menggema di Ruang Kosong
Febriadi, sang pimpinan sidang, membacakan SK Musda No. 07/MUSDA-XVI/HIPMI/KALBAR/2025 dengan klausul sakti: “Ridho terpilih secara jujur dan adil sesuai AD/ART.”
Tapi, benarkah?
Kata Roby (mantan pengurus HIPMI Kubu Raya): “Ini namanya ketua dalam kelambu.”
Dia menambahkan, “Tidak pernah dalam sejarah Musda HIPMI di kamar hotel memilih ketua.”
Artinya? Ini preseden buruk. Jika demokrasi bisa dipreteli jadi sekadar “ketok palu kamar hotel”, lalu apa bedanya dengan rapat RT yang memilih ketua sambil minum kopi?
Kontroversi Ridho Adyt Setiawan dan Bayang-Bayang Sharon
Profil Ridho: Pemimpin Baru atau Boneka Kekuasaan?
Ridho Adyt Setiawan kini resmi memegang tampuk HIPMI Kalbar. Tapi, siapa sebenarnya dia?
Koneksi politik: Kehadiran Gulam Sharon (yang notabene mantan ketua) di ruang sidang menimbulkan spekulasi “political backing”.
Pertanyaan publik: Apakah Ridho benar-benar “kandidat independen” atau sekadar “extension of the old power”?
AD/ART vs Realitas: Jurdil atau Jurdil-Cetek?
SK Musda menyebut pemilihan “jujur dan adil”, tapi:
- Proses tertutup: Musda di kamar hotel jelas minim transparansi.
- Suara kritis diredam: Kritik Roby dan lainnya diabaikan.
- Jika ini disebut “jurdil”, maka “jurdil” versi HIPMI Kalbar mungkin perlu kamus baru.
Reaksi Publik dan Kredibilitas HIPMI Terkikis
Suara Roby: Wakil Rakyat atau Wakil Frustasi?
Roby bukan sembarang orang—dia mantan pengurus HIPMI Kubu Raya. Ketika dia bilang “ini sejarah buruk”, itu bukan omong kosong.
Poin validnya:
Musda seharusnya terbuka, bukan di kamar hotel.
Proses “ketok palu instan” meragukan.
Dilema Organisasi: Kaderisasi vs Kekuasaan Turun-Temurun
HIPMI seharusnya wadah kaderisasi pengusaha muda. Tapi jika kepemimpinan direkayasa, maka:
Generasi muda frustasi: Mereka akan melihat organisasi ini sebagai “klub eksklusif”.
Dampak jangka panjang: Kredibilitas HIPMI dipertanyakan di tingkat nasional.
Solusi Atau Sekadar Pemanis Bibir?
HIPMI Pusat harus turun tangan:
- Audit independen terhadap proses Musda Kalbar.
- Evaluasi AD/ART untuk mencegah “musda kamar hotel” terulang.
Epilog: Palu Telah Diketok, Tapi Pertanyaan Masih Menggantung
Ini bukan sekadar tentang Ridho atau Sharon. Ini tentang integritas organisasi. Jika HIPMI Kalbar ingin dihormati, mereka harus membuktikan bahwa “jurdil” bukan sekadar jargon di atas kertas.
Kalau tidak? Bersiaplah untuk dijuluki “HIPMI Hotel”—tempat di mana keputusan penting dibuat di antara bau sampah room service dan suara AC yang berisik.
Jika HIPMI Kalbar ingin memulihkan nama baik, langkah pertama adalah mengakui kesalahan.
Jika tidak, mereka hanya akan jadi bahan tertawaan—dan sejarah akan mencatat ini sebagai “Musda paling memalukan dalam sejarah HIPMI”.
Selamat tidur, demokrasi. Kau dikuburkan di kamar hotel berbintang. (ARP)