SANGGAU, Infokalbar.com – Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, menyimpan kisah panjang tentang pertambangan emas tanpa izin (PETI).
Sebuah tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi, seperti aliran sungai Kapuas yang tak pernah berhenti mengalir.
Di sini, PETI bukan sekadar aktivitas ekonomi, melainkan denyut nadi kehidupan bagi ribuan keluarga.
Sekjen FW & LSM Kalbar Indonesia, Wawan Daly Suwandi, dengan suara tenang namun penuh wibawa, berkata hal itu.
“PETI sudah mengakar sejak zaman nenek moyang. Melarangnya dengan kekerasan hanya seperti memotong sungai dengan pisau—air akan mencari jalannya sendiri,” kata Wawan Daly Suwandi.
IPR Itu Oasis di Tengah Gurunya Konflik Tambang
Izin Pertambangan Rakyat (IPR) hadir bagai cahaya di ujung terowongan gelap. Kebijakan ini tidak hanya mengubah wajah pertambangan liar menjadi legal.
Akan tetapi juga menjawab kegelisahan para penambang yang selama hidup bergantung pada emas di perut bumi.
“IPR adalah solusi tanpa darah,” ujar Wawan, matanya berbinar penuh keyakinan. “Ini langkah sinergis antara aparat penegak hukum (APH) dan pemerintah. Bukan dengan gebrakan represif yang hanya meninggalkan luka.”
Data dan Fakta: Dampak IPR Bagi Masyarakat Sanggau
Peningkatan Pendapatan: Sejak 2023, lebih dari 1.200 penambang di Sanggau telah mengantongi IPR, dengan rata-rata pendapatan naik 40%.
Pengurangan Konflik: Laporan Kepolisian Resor Sanggau mencatat penurunan 75% kasus sengketa lahan tambang pada 2024.
Dampak Lingkungan: Rehabilitasi lahan tambang mulai dilakukan secara terstruktur, dengan 15 persen area bekas PETI ditanami kembali.
Meski menjadi angin segar, IPR bukan tanpa cela. Namun, Wawan menegaskan, “Tidak ada kebijakan yang sempurna. Tapi IPR adalah awal yang baik. Yang penting, ada ruang dialog, bukan monolog kekuasaan.”
Di tepian Sungai, seorang penambang itu tersenyum lebar. Tangannya yang keriput oleh terik matahari kini memegang dokumen IPR—selembar kertas yang mengubah hidupnya.
“Dulu kami lari dari petugas, sekarang kami bisa bernapas lega,” ujarnya, suaranya bergetar haru.
IPR bukan sekadar kebijakan, melainkan sebuah narasi tentang bagaimana manusia dan bumi bisa berdamai.
Seperti kata Wawan: “Hukum harus hadir sebagai pelindung, bukan algojo.” Di Sanggau, cerita tentang emas kini tak lagi tentang konflik, tapi tentang harapan.