
Pontianak,infokalbar.com Angin pagi di Kota Pontianak masih basah oleh gerimis ketika surat resmi Polisi Daerah Kalimantan Barat (Polda Kalbar) tiba di meja Sudianto. Tanggal 19 Mei 2025.
Selembar SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan) itu, bertanda tangan Komisaris Besar Polisi Sardo M Pardamean Sibarani, Direktur Ditreskrimsus Polda Kalbar, menjadi penanda: kasus ini belum usai.
Di layar Zoom, Selasa, 10 Juni 2025, sidang mediasi digelar. Dewan Pers hadir sebagai penengah.
Moebanoe, Samsuri, Indria Purnamahadi, dan Naek Pangaribuan duduk di ruang virtual, menyimak dua kubu: pengusaha tambang nikel itu dan sebuah media massa yang namanya sengaja dikubur dalam diam.
“Solidaritas wartawan harus dijaga,” bisik Ridho Fathan SH MH, kuasa hukum Sudianto. Tapi, apa yang sebenarnya terjadi?
Rp5 Miliar Itu Uang Atau Pembungkam?
Angka itu menggelayut di udara seperti bau belerang. Lima miliar rupiah. Dituding sebagai harga untuk menghentikan pemberitaan masif bernada negatif.
“Semua bukti sudah kami serahkan ke Dewan Pers,” tegas Ridho Fathan.
Tapi, media yang dilaporkan memilih bungkam. Rabu, 11 Juni 2025, pukul 12.15 WIB, redaksi di Pontianak Selatan hanya berujar: “Masih menunggu rekomendasi tertulis.”
Seperti dua petinju yang enggan membuka garda, keduanya menunggu. Sidang Zoom Dewan Pers terbagi tiga sesi:
- Sesi Pelapor: Sudianto, melalui Ridho Fathan, memaparkan dokumen-dokumen yang disebut sebagai “bukti pemerasan.”
- Sesi Terlapor: Media yang dilaporkan membacakan narasi pembelaan.
- Sesi Masukan: Kedua belah pihak saling melempar argumen.
Tapi, tidak ada pukulan KO. Hanya janji: “Rekomendasi tertulis akan menyusul.”
SP2HP dan Jejak Penyidikan yang Masih Panjang
Surat Polda Kalbar itu jelas: “Penyidik masih memeriksa saksi dari kedua belah pihak.” Artinya, kasus ini belum mencapai ujung.
Hak Jawab yang Tak Kunjung Terucap
Redaksi membuka ruang. “Kami sampaikan hak jawab,” kata mereka. Tapi, hingga detik ini, tidak ada respons tertulis.
Seperti dua kekuatan yang saling mengukur, keduanya menunggu langkah pertama.
Hari-hari ini, Sudianto dan media itu seperti dua kapal di lautan gelap. Saling melihat, tapi tak saling mendekat.
Kini, semua mata tertuju pada Dewan Pers. Akankah rekomendasi mereka menjadi mercusuar? Atau justru memicu gelombang baru?
Satu hal yang pasti: pertaruhan bukan sekadar uang, melainkan martabat, keadilan, dan masa depan kebebasan pers.(ARP)