Dari Sanggau Untuk Indonesia: Kala Jaksa Menyulam Asa Dalam Supervisi Sunyi

Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat menggelar supervisi di Kejari Sanggau, menyelaraskan capaian kinerja dan semangat Restorative Justice dalam lanskap penegakan hukum yang lebih manusiawi. Simak kisah mendalamnya.
Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat menggelar supervisi di Kejari Sanggau, menyelaraskan capaian kinerja dan semangat Restorative Justice dalam lanskap penegakan hukum yang lebih manusiawi. Simak kisah mendalamnya.

SANGGAU, Infokalbar.com – Langit Sanggau siang itu tak lagi garang. Namun, juga tak sepenuhnya teduh.

Di bawah awan yang bergerak malas, sebuah kisah senyap tengah dirajut di dalam gedung Kejaksaan Negeri Sanggau Kalimantan Barat.

Bukan kisah biasa. Ini adalah tentang pengawasan. Tentang evaluasi. Tentang selembar catatan kecil yang bisa mengubah nasib banyak perkara.

Tanggal 16 Juni 2025 menjadi awal mula. Dalam balutan setelan yang rapi dan langkah penuh makna, rombongan dari Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat datang menyapa. Mereka bukan sekadar tamu.

Mereka adalah penata harmoni, penyelaras irama kerja yang selama ini berdenting di ruang-ruang hukum.

Dipimpin oleh Drs. Fajar Sukristyawan, S.H., M.H., M.Pd.—sosok yang di dunia penegakan hukum telah teruji wawasannya—tim ini membawa misi: melakukan supervisi capaian kinerja tahun 2025. Tak hanya menilai.

Mereka ingin mendengar. Meraba. Mencerap denyut nadi satuan kerja yang tersebar di jantung Kalbar—Sanggau, Sekadau, Sintang, dan Entikong. Namun Sanggaulah yang menjadi awal nada.

Antara Kertas-Kertas Laporan dan Nyawa Penegakan

Waktu menunjukkan pukul dua siang. Pintu dibuka, ruang-ruang dipenuhi aroma administrasi dan kelelahan kerja.

Tapi tak ada yang gamang. Tim Kejati—bersama Kepala Seksi A Edi Kusbiyantoro, Jaksa Fungsional Yuse Chaidi Adhar, dan beberapa staf Pidum—masuk dengan tenang. Mereka menyisir, mencatat, berdialog.

Mereka berbicara bukan dengan suara tinggi, tapi dengan mata yang jeli, telinga yang terbuka.

Dari berkas ke berkas, dari perkara ke perkara. Tak hanya kertas, yang ditelisik adalah semangat.

Apakah semangat keadilan itu masih menyala? Ataukah hanya menjadi formalitas di antara rutinitas?

Di ruang Pidum, mereka berdiskusi. Bertukar pandang dengan Kasi Pidum, Kasubsi, dan para staf. Ada canda kecil di sela-sela keseriusan. Tapi tetap, udara ruangan itu terasa padat.

Supervisi bukan sekadar inspeksi. Ia adalah cermin yang memantulkan: apa yang telah dilakukan, dan apa yang seharusnya diperbaiki.

Restorative Justice Bukan Sekadar Wacana

Di balik tumpukan berkas, satu istilah terus menggema: Restorative Justice.

Bagi sebagian, mungkin terdengar seperti jargon. Tapi tidak di sini. Di Sanggau, kebijakan penyelesaian perkara berbasis keadilan restoratif bukan hanya ide.

Ia adalah praktik yang terus dicoba, kadang tertatih, kadang melesat.

Kejaksaan Negeri Sanggau di bawah kepemimpinan Dedy Irawan Virantama, S.H., M.H., rupanya tak sekadar menjalankan perintah pusat.

Mereka mencoba memaknai. Memanusiakan hukum. Menggeser paradigma dari menghukum menjadi menyembuhkan. Dan itu tak mudah.

Fajar Sukristyawan menyadari hal itu. Dalam testimoninya, ia menyampaikan kesan yang tak basa-basi.

“Manajemen penanganan perkara tindak pidana umum di Sanggau sudah berkembang ke arah yang lebih baik. Ini perlu diapresiasi,” kata Fajar Sukristyawan.

Sebaris kalimat, namun berat maknanya. Sebab di balik kata “apresiasi”, ada pengakuan.

Bahwa Sanggau, meski bukan kota besar, telah menjahit kebijakan hukum dengan benang integritas.

Saat Pusat Mendengar Suara Pinggiran

Kehadiran Kejati bukan hanya soal evaluasi. Ia adalah bentuk perhatian. Sebuah pengakuan diam-diam bahwa pinggiran pun layak didengar.

Dedy Irawan menyambut itu dengan lapang. Tak banyak kata, tapi cukup kuat untuk memberi harap.

“Terima kasih atas perhatian dan pembinaan langsung dari Kejati Kalbar. Semoga ini membawa dampak positif, baik bagi profesionalitas jaksa, maupun bagi konsistensi penegakan hukum yang berkeadilan,” ujarnya.

Ia tahu, supervisi hanyalah awal. Yang lebih penting adalah setelahnya: bagaimana masukan-masukan itu diolah menjadi perbaikan nyata.

Sebab hukum, jika tak ditopang oleh kesadaran, hanya akan menjadi alat yang dingin.

Hari-Hari Terus Bergerak

Supervisi ini berlangsung empat hari, menyusuri berbagai titik. Tapi di Sanggau, ia meninggalkan jejak yang berbeda. Bukan karena lokasi pertama. Tapi karena interaksi yang tulus.

Tak semua evaluasi melahirkan rasa takut. Yang ini justru membangun. Menghidupkan obor semangat bahwa bekerja dalam hukum adalah bekerja dalam kemanusiaan. Bahwa menegakkan aturan tak harus mematahkan harapan.

Ketika tim Kejati melangkah keluar gedung di senja itu, udara terasa sedikit berbeda.

Seolah Sanggau baru saja menulis satu bait puisi. Tentang kerja. Tentang komitmen. Tentang cinta yang sunyi kepada keadilan.

Dan mungkin, supervisi semacam inilah yang mestinya jadi pola. Supervisi yang tak hanya mencari celah, tapi juga memberi cahaya.

Sanggau tak sedang mencari panggung. Tapi di tengah geliat sunyinya, ia membuktikan bahwa harmoni dalam penegakan hukum bisa dimulai dari sini.

Dari ruang sempit penuh berkas. Dari dialog sederhana antarrekan. Dari supervisi yang membawa semangat restoratif.

Tak ada yang terlalu megah. Tapi justru di situlah kekuatan sebenarnya.

Dan bila kelak sejarah bertanya di mana Restorative Justice pernah benar-benar menyentuh bumi, mungkin Sanggau bisa berkata: “Kami pernah mencoba—meski dengan langkah pelan—untuk menghadirkan keadilan yang lebih manusiawi.”

Sebab hukum bukan hanya soal benar dan salah. Ia juga tentang merajut yang koyak. Menyembuhkan yang retak. Dan itu, dimulai dari hati. (Wawan Daly Suwandi)