JAKARTA, Infokalbar.com – Kabar mengejutkan mengguncang dunia pers dan penegakan hukum. Bocornya SP2 Lid kasus Hendry Chairudin Bangun mengungkap dugaan penghentian penyelidikan yang sarat tanda tanya. Benarkah ada “aroma busuk” di balik keputusan ini?
Dunia pers, yang katanya luhur dan menjunjung tinggi kebenaran, kini kembali diguncang badai.
Kali ini, bukan hanya gempa kecil, melainkan tsunami yang mengancam karang-karang moral yang rapuh.
Kisah bermula dari bocornya Surat Pemberitahuan Penghentian Penyelidikan (SP2 Lid) atas kasus dugaan penggelapan yang melibatkan nama Hendry Chairudin Bangun.
Sebuah nama yang kini menjadi buah bibir, bisikan di lorong-lorong kekuasaan, dan aroma tak sedap yang menusuk hidung para pencari keadilan.
Presiden Prabowo Subianto yang terhormat, mohon perhatiannya. Bukan bermaksud lancang, tapi berita ini penting, bahkan darurat.
Jangan sampai terlewat, apalagi di-skip. Sebab, di balik tinta hitam SP2 Lid, tersembunyi drama yang lebih kelam dari malam gulita.
Surat Sakti dan Misteri Menggoda
Surat sakti bernomor B/1609/VI/RES.1.11/2025/Direskrimum, yang ditandatangani oleh AKBP Akta Wijaya Pramasakti, bak mantra yang membatalkan segala tuduhan.
Penyelidikan dihentikan, kasus ditutup, seolah tak ada noda yang menempel pada sang tokoh.
Alasan? “Belum ditemukan adanya peristiwa pidana.” Sebuah kalimat yang begitu lugas, namun menyimpan sejuta tanya.
Namun, jangan kira cerita berakhir manis seperti dongeng pengantar tidur. Di balik layar, suara-suara sumbang mulai bermunculan.
Para pelapor, yang merasa dipermainkan, kini berteriak lantang. Mereka mempertanyakan transparansi dan akuntabilitas proses hukum yang berjalan.
Seolah, keadilan hanya menjadi pajangan di etalase toko, bukan sesuatu yang bisa diraih dengan mudah.
Bukti, Uang, dan Jaringan Rahasia Elite
Dalam wawancara eksklusif, salah satu pelapor yang enggan disebut namanya, karena takut “hilang” secara misterius, mengungkap fakta-fakta mencengangkan.
Bukti-bukti transaksi, dokumen internal, semua sudah diserahkan kepada penyidik.
Bukti yang mengarah pada dugaan pengelolaan dana hibah dan program kegiatan wartawan yang tak sesuai prosedur. Namun, apa daya? Surat sakti telah berbicara.
“Kami bukan main-main,” ujarnya dengan nada getir. “Yang dilaporkan itu penggunaan dana hibah, UKW, dan program lainnya yang dikelola sepihak.
Laporan kami masuk ke Pasal 372 dan 378 KUHP. Tapi anehnya, tanpa ekspose terbuka, tiba-tiba muncul SP2 Lid. Ini jelas ada sesuatu yang disembunyikan.”
Dugaan semakin kuat ketika sang pelapor menuding adanya campur tangan oknum pejabat tinggi, baik di dalam maupun di luar kepolisian.
“Ada tekanan,” bisiknya. “Hendry itu bukan orang biasa. Dia punya jaringan. Bahkan disebut-sebut memegang banyak ‘rahasia’ elite.” Sebuah jaringan yang seolah tak tersentuh oleh hukum.
Isi Surat Misterius
Mari kita intip sedikit isi surat yang “misterius” itu.
“…setelah dilakukan pemeriksaan terhadap pelapor, saksi-saksi, dan gelar perkara, maka penyidik menyimpulkan bahwa laporan belum memenuhi unsur tindak pidana sesuai Pasal 372 dan 378 KUHP, sehingga penyelidikan dihentikan.”
Sebuah kesimpulan yang begitu mudah diambil, seolah tak ada beban moral. Seolah, keadilan bisa dibeli dengan harga murah.
Namun, para praktisi hukum dan pegiat antikorupsi tak tinggal diam. Mereka tahu, SP2 Lid bukanlah vonis mati.
Jika ada bukti baru, penyelidikan bisa dibuka kembali. Tapi, apakah ada nyali untuk itu?
Ketika Mafia Bersarang di Tubuh Wartawan Indonesia
Wilson Lalengke, Ketua Umum PPWI yang juga alumni Lemhannas, tak bisa menyembunyikan amarahnya.
Dia menyebut penghentian penyelidikan sebagai bentuk pembiaran terhadap dugaan kejahatan di tubuh organisasi pers.
“Semua sudah terang-benderang. Tapi aparat tampaknya tidak punya nyali menyentuh Hendry Chairudin Bangun. Kenapa? Karena Hendry Chairudin Bangun punya kartu as,” kata Wilson Lalengke.
“Dia tahu siapa yang bermain proyek, siapa yang main anggaran. PWI sudah berubah jadi sarang mafia,” ujar Wilson Lalengke dengan nada berapi-api.
Ia menambahkan, ini bukan lagi urusan internal organisasi, tetapi menyangkut uang rakyat dan citra institusi negara.
Polri wajib mengamankan uang rakyat, bukan melindungi para koruptor semacam Hendry Chairudin Bangun KRONI yang telah menggelapkan RP1,7 miliar uang rakyat, dana hibah BUMN itu.
Apakah Polri tidak punya nurani melihat 160-an juta rakyat miskin Indonesia yang dipaksa bayar pajak via PPN 11-12 persen untuk bayar hidupnya Polri.
Sementara mereka membiarkan para dedengkot koruptor PWI itu melenggang bebas seakan tak bersalah?? Konyol benar aparat Polri kita itu..!!”
Sebuah sindiran pedas yang menusuk kalbu. Sebuah tamparan keras bagi mereka yang merasa kebal hukum.
Desakan, Audit, dan Uji Integritas
Desakan publik semakin menguat. Kompolnas didesak untuk turun tangan mengaudit proses gelar perkara di Polda Metro Jaya.
KPK juga diminta untuk membuka penyelidikan jika dana yang dikelola Hendry berasal dari hibah BUMN atau APBN/APBD.
Rangga Ananta, aktivis demokrasi yang juga mantan anggota Dewan Pers, mengingatkan, “Kita harus jaga marwah institusi pers”.
“Kalau dugaan korupsi ditutup-tutupi karena pelakunya tokoh media, apa bedanya pers dengan politikus busuk,” Rangga Ananta menegaskan.
Sebuah pertanyaan yang menggugah kesadaran. Sebuah tantangan bagi mereka yang masih percaya pada keadilan.
Ini Namanya Sandiwara Keadilan
Kasus Hendry Chairudin Bangun bukan hanya soal organisasi wartawan. Ini adalah ujian bagi integritas lembaga hukum di negeri ini.
Di satu sisi, publik menuntut kejelasan hukum, di sisi lain justru muncul dokumen-dokumen penghentian yang diduga sarat kompromi.
Apakah penegakan hukum masih bisa dipercaya ketika fakta dan prosedur disulap di balik meja?
Polri seakan sudah terbiasa memproses kasus sekehendak hatinya, yang salah direkayasa jadi benar, sebaliknya yang benar dijadikan salah, hukum dijadikan mainan.
Redaksi menyimpulkan, kalau selama oknum-oknum tertentu masih bermain dalam sistem hukum.
Maka, keadilan hanya akan menjadi jargon di atas kertas—sementara para pelapor terus menanggung stigma dan ketidakadilan.
Sebuah akhir yang getir, namun sekaligus menjadi pengingat bagi kita semua. Bahwa perjuangan mencari keadilan tak pernah mudah, namun tak pernah boleh berhenti.
Semoga, kisah ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Bahwa, sepandai-pandainya tupai melompat, jangan sampai jatuh ke jurang ketidakadilan. (ARP)