Nasib Penambang Emas Sintang di Ujung Tanduk Tanpa WPR

Penambang emas Sintang menuntut kepastian WPR dari Bupati Sintang Gregorius Herkulanus Bala. Tanpa legalitas, hidup mereka terancam. Baca kisah perjuangan mereka di sini

Ilustrasi. (Infokalbar.com)

SINTANG, Infokalbar.com – Suara gemuruh harapan itu terdengar terdengar jelas dari ruang rapat Bupati Sintang, Kalimantan Barat Kamis (8/5/2025).

Puluhan anggota Forum Penambang Sintang Raya Bersatu duduk tegang, menanti respons Bupati Sintang Gregorius Herkulanus Bala terkait nasib mereka.

Asmidi, Ketua Forum, dengan suara bergetar menyampaikan kegelisahan: “Kami hanya ingin bekerja tanpa takut digerebek. Kami butuh Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) segera terbit!”

Permohonan ini bukan tanpa alasan. Sejak 2023, pengajuan WPR mandek. Sementara itu, ribuan penambang terus bekerja di bayang-bayang ketakutan dan ketidakpastian hukum.

Mengapa WPR Penting? Legalitas Yang Menyelamatkan Hidup

WPR bukan sekadar dokumen administratif. Bagi penambang emas di Sintang, ini adalah jaminan hidup.

Tanpanya, aktivitas mereka dianggap PETI (Penambangan Emas Tanpa Izin)—ilegal, rentan razia, dan ancaman pidana.

Padahal, bagi banyak keluarga di Sintang, tambang emas adalah satu-satunya sumber nafkah.

Adalah Wawan Daly Suwandi. Dia merupakan Sekjen Forum Wartawan dan LSM Kalbar Indonesia.

Dia menegaskan, “Mereka tulang punggung keluarga. Jika WPR tak kunjung terbit, bagaimana anak-anak mereka sekolah? Bagaimana mereka makan?”

Data dari Dinas ESDM Kalimantan Barat menunjukkan, lebih dari 60 persen penambang emas di Sintang hidup di bawah garis kemiskinan. Tanpa legalitas, mereka terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan ketakutan.

Tuntutan ke Bupati: Kebijakan Transisi Sebelum WPR Terbit

Asmidi tiak meminta yang muluk-muluk. “Kami mahu kebijakan sementara agar kami bisa bekerja tenang sembari menunggu WPR,” ujarnya menegaskan dan mengingatkan langkah dan janji pasti.

Beberapa poin yang diajukan Forum Penambang Sintang Raya Bersatu:

1. Percepatan proses WPR dengan koordinasi lintas sektor.

2. Surat jalan operasional sementara dari Pemda untuk mengurangi intimidasi aparat.

3. Pendampingan hukum bagi penambang yang berkonflik dengan aturan.

Bupati Sintang, Gregorius Herkulanus Bala, berjanji menindaklanjuti. “Kami paham urgensi ini. Tim akan kami kerahkan untuk memproses WPR secepat mungkin,” katanya. Namun, penambang sudah lelah dengan janji.

Maka dampak sosial, jika WPR tak kunjung datang. Tanpa WPR, efek domino mengerikan mengintai:

1. Peningkatan kriminalitas akibat pengangguran.

2. Anak-anak putus sekolah karena orang tua tak mampu bayar SPP.

3. Konflik horizontal antara penambang dan aparat.

Kisah nyata dari salah satu penambang, Rukdiadab (42), bercerita: “Dua kali tambang kami digerebek. Sekarang, saya kerja serabutan. Anak saya terancam DO (drop out kuliah) karena tak ada biaya.”

Solusi jangka panjang WPR dan pemberdayaan ekonomi. WPR bukan akhir, tapi awal. Para ahli menyarankan:

– Pelatihan penambangan berkelanjutan.

– Koperasi penambang untuk akses modal dan pemasaran.

– Sinergi dengan perusahaan tambang besar untuk alih teknologi. (ARP)